30 - Puncak

906 139 115
                                    

".... Saya pikir setelah saya menikah, saya bisa lupain sepupu saya, Dok. Tapi ... ternyata perasaan saya ke dia malah semakin parah setelah nikah. Waktu suami saya gak bolehin saya deket-deket lagi sama dia, saya nurut, tapi rasanya ... gak tau kenapa susah banget, Dok. Saya gak bisa tenang setiap hari, rasanya gelisah, rasanya mau nangis setiap saat. Saya sadar seratus persen kalau saya ini bener-bener gak tau diri, tapi saya gak bisa tahan yang ada di hati saya .... Saya udah berusaha buat lupain dia. Saya berusaha cinta sama suami saya, tapi semakin saya lupain dia, semakin bayang-bayang dia mengganggu saya setiap hari, Dok. Apalagi ... setelah saya tau ternyata dia punya perasaan yang sama untuk saya ... saya jadi semakin bingung dan sesak, Dok .... Jujur dari hati saya, saya bingung banget, Dok. Saya gak tau harus gimana lagi. Saya pingin lupain dia, saya takut kalau suami dan keluarga saya tau ...."

Tersedu-sedu Hafsah, ketika mencurahkan isi hati di depan seorang psikiater---yang direkomendasikan oleh dokter umum di rumah sakit Hafsah dirawat 4 minggu lalu.

Yang di atas itu hanyalah sepenggal dari banyak penggal pengakuan yang Hafsah utarakan. Butuh 2 kali pertemuan sebelum Hafsah berani menjelaskan 'aib' hatinya pada sang psikiater bernama Niana. Sebuah beban yang selama ini ditanggung sendiri, akibat perasaan malu dan bersalah yang tak main-main.

Dokter Niana paham kondisi Hafsah yang begitu carut-marut. Perempuan itu sangat ingin jadi istri penurut, namun perasaannya jadi berkecamuk akibat sosok lelaki yang ia cintai tak mau enyah dari dalam relung.

Kata dokter, keluhan-keluhan medis Hafsah seperti: tak bertenaga, insomnia di waktu malam, tapi kemudian tidur terlalu banyak di kala siang, lalu lelah berkepanjangan dan lemas sampai pingsan, adalah respons tubuh yang tengah didera stres berat. Layaknya sebuah ponsel. Jika data sudah melebihi kapasitas, kerja ponsel akan melambat, lantas menimbulkan keeroran di mana-mana.

Dokter berjanji untuk tidak membeberkan isi curhatan Hafsah kepada pihak keluarga. Selain permintaan Hafsah, itu juga merupakan rahasia pasien yang harus para dokter jaga.

Terhitung sudah 1 bulan sejak dirinya dirawat di rumah sakit akibat pingsan saat sedang cuci piring. Hafsah kini tak di Bekasi, sebab tiada sang suami yang menemani. Seminggu lalu, Zayden pamit. Ada dinas luar kota tepatnya di Kota Palopo, Luwu, Sulawesi Selatan.

Iya, sudah seminggu terakhir Hafsah berada di rumahnya di Kramat Jati. Tidak. Tidak berarti Hafsah jadi leluasa bertemu Sandy. Kan, kita sudah tahu sendiri, bahwa Hafsah dan Sandy adalah pasangan mencinta paling taat akan norma dan peraturan.

Sudah 5 menit Hafsah diam di depan teras. Menatap tanaman bonsai pendek di halaman asri rumahnya. Pandangan mengawang, pikiran kosong, sarat akan lelah yang tak kunjung memudar. Hafsah selalu tak bertenaga, tetapi mulai terbiasa. Pihak keluarga diminta untuk paham, jangan suka menekan supaya kondisi Hafsah tidak makin parah.

"Kalau Hafsah sendiri, kepinginnya dengan siapa? Kita jangan dulu bicara logis dan etis, itu mah masalah belakang. Saya cuma mau tau, nih. Maunya Hafsah sekarang, yang ada di jiwa terdalammya Hafsah, Hafsah kepinginnya sama siapa? Sama suaminya Hafsah atau sama sepupunya Hafsah?"

Hampir setiap hari, pertanyaan santai Dokter Jiwa 2 minggu lalu bertingkah seperti komidi putar di dalam otak Hafsah.

Namun, belum. Hafsah belum menjawabnya. Belum menemukan jawaban yang patut dilontarkan. Hafsah takut, sangat-sangat takut. Dokter Niana pun belum mau menuntut, mungkin di pertemuan lebih lanjut.

Ya ampun, Hafsah! Padahal kan tinggal bilang "Zayden" saja, apa susahnya, sih?

....

Deruman halus sepeda motor merek Honda Beat berbunyi di luar pagar. Kendaraan yang Hafsah kenal, pengendara yang Hafsah kenal, orang yang membuatnya hampir gila menentukan jalan.

YOU OR NO ONE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang