24 - Hati Terkuat

817 129 122
                                    

"Kamu kok gak makan-makan, Sayang? Udah mau jam 10 ini," ujar seseorang yang sedari tadi membaca sebuah buku di dalam kamar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kamu kok gak makan-makan, Sayang? Udah mau jam 10 ini," ujar seseorang yang sedari tadi membaca sebuah buku di dalam kamar.

Istrinya, sedang berbaring saja di atas ranjang. Tidak tidur, tidak juga melakukan apa-apa. Mengutak-atik ponsel pun tidak. Sedari tadi hanya diam, membiarkan sang suami membaca buku kesukaannya.

"Gak laper, Mas." Perempuan itu membalas. Ia memeluk bantal guling tanpa tujuan. Mau tidur, tidak. Mau bangun, juga malas.

Zayden diam saja, masih tenggelam dengan buku yang ia baca. Pukul 8 malam tadi, pria itu sudah makan malam ditemani istrinya. Makan masakan istrinya: ayam kecap dengan tumis brokoli segar. Sedangkan istrinya, tidak ikut makan, hanya menemani saja.

Hafsah banyak diam, tetapi tetap menjalankan kewajiban dengan normal, meski sebetulnya tengah hilang arah. Sejak 2 hari lalu lebih tepatnya.

Ya, mengenai hal itu. Tentang Sandy yang ternyata memiliki perasaan sama dengannya. Merasa haru di tengah dilema. Ingin turut memaparkan perasaan, tetapi terhalang status yang kini sudah jadi istri seseorang.

Kalau waktu bisa diputar, Hafsah ingin berakhir dengan Sandyakala---yang ia pikir tak ada rasa padanya. Merajut asmara bersama, tenggelam dalam cinta yang begitu dalam. Namun, apa daya? Tuhan menghendaki lain untuk hidupnya.

Pantas saja lelaki itu berubah dengan 1001 alasan sejak Hafsah mengabarkan tentang rencana pernikahannya.

Lantas sudah ketahuan begini, Hafsah pun bingung harus bagaimana menselebrasikannya. Tidak tahu perasaan apa yang harus ia rasakan. Bahagiakah? Sedihkah? Sakitkah? Hafsah tidak tahu. Rasanya datar, kosong, dan hampa.

Suara Zayden yang beringsut dari sofa kamar terdengar. Mungkin pria itu sudah selesai membaca. Hafsah bergeming saja, malas bergerak. Bukan kesal, sama sekali bukan. Hanya tak punya gairah, bahkan untuk sekadar bergerak menatap suaminya.

"Sayang." Suara Zayden terdengar. Ia tersenyum, menegur Hafsah yang berbaring memunggunginya.

Hafsah menoleh sedikit, lantas menerima kecupan di kening dan pelukan hangat dari belakang tubuhnya yang langsing. Hafsah sudah lebih dari terbiasa dipeluki dan dicumbui. Sudah hampir 100 hari Hafsah menyerahkan hidupnya untuk Zayden, sang suami.

Tangan Zayden bergerak, memasuki kaus merahnya. Mengusap perut rata Hafsah di sana. "Kira-kira, udah ada isinya belum, ya?" Ia tersenyum di belakang tengkuk istrinya.

Hafsah tersenyum tipis mendengar ujaran Zayden. Ia pun ingin punya anak. Namun, mengapa rasanya tidak antusias? Ah, mungkin karena banyak pikiran.

"Mas." Hafsah memegang tangan Zayden pada perutnya.

"Ya?"

"Aku boleh tanya sesuatu?" tanya si istri dengan pandangan melamun.

Bahu Hafsah yang berlapis kaus, Zayden kecup lembut. Leher putih yang mulus, turut ia hirup dan kecup. "Apa, Sayang?"

YOU OR NO ONE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang