05 - Titik Buntu

1.3K 193 144
                                    

Sepiring fettuccine jadi pilihan Hafsah untuk makan malam kali ini. Sementara Zayden si calon suami, memilih burger dan fried fries sebagai teman bincangnya dengan sang calon istri. Keduanya menggunakan pakaian senada---putih. Zayden yang menyuruh si gadis.

"Hafsah jualan online udah lama?" tanya Zayden di sela penyantapannya. Mulut Zayden tergolong besar, memungkinkan menggigit burger dengan jumbo dan menelannya secara cepat.

"Udah setahun lebih, Mas. Habis lulus kuliah, aku cari kesibukan karena belum dapet kerja. Agak susah ya ternyata nyari kerja," ujar Hafsah dengan kekehan canggung.

Zayden menyimak, lalu tersenyum melihat Hafsah yang tertawa lembut. Kemudian, ia berdeham agar tak terlalu tampak memalukan sebab sudah diacak-acak oleh seutas senyum milik Hafsah.

"Iya, memang agak susah," Zayden membalas. "Soalnya banyak saingan, kan? Kita S1, orang lain juga banyak yang S1, bahkan S2, S3. Sedangkan lapangan pekerjaan pun terbatas. Jadi untuk menyiasatinya, kita emang harus ada keahlian lain, contohnya jualan kayak Hafsah gini," ucapnya penuh dukungan. Mata bulatnya tersenyum menatap Hafsah.

Gadis cantik itu mengangguk tersenyum, lambang setuju. Kemudian, melingkar-lingkarkan fettuccine-nya ke garpu sebelum melahapnya dengan anggun. Maniknya menatap sekitar, melihat orang-orang yang juga sedang makan dan minum. Tak ia sadari, Zayden menatapnya terus-menerus.

"Hafsah." Suara berat Zayden memanggil lembut. Ia menangkup tangan kecil Hafsah ke dalam tangannya yang lebih besar dan hangat.

Hafsah menatap tangannya sekilas, kemudian menatap Zayden tepat di mata. "Ya, Mas?"

"Aku sayang banget sama kamu," ungkap Zayden apa adanya.

Hafsah tersenyum. "Makasih, Mas," balasnya tulus.

Biar bagaimana pun, Hafsah merasa senang dan tersanjung. Ia merasa benar-benar diinginkan oleh Zayden yang telah berani melamarnya---meskipun perasaan Hafsah masih tertuju pada orang lain, belum tertuju pada pria di hadapannya kini.

Lelaki itu mengusap tangan Hafsah sejenak, lalu kembali melepasnya. Namun, matanya terus menatap ke satu arah, pada wajah Hafsah yang dihiasi bedak tipis dan lipstik merah muda.

"Kamu belum sayang sama aku, aku tau itu," kata Zayden, lalu menjeda sebentar. Ia menatap begitu lekat dan hangat. "Tapi aku janji, aku akan selalu berusaha supaya kamu bisa jatuh cinta juga sama aku," pungkasnya halus, lalu tersenyum kecil dan manis.

Hafsah melihat lesung pipi Zayden terbentuk indah. Ya, benar, Zayden begitu tampan dan semampai. Tapi untuk sekarang, Hafsah belum bisa jatuh ke dalam cinta yang berisikan Zayden seorang. Sedangkan, Zayden ... sudah tidak terkira lagi jatuh cintanya kepada Hafsah.

"Iya, Mas," balas Hafsah, tersenyum seadanya.

"Pelan-pelan aja, Haf. Aku gak akan maksa kamu buat cepet-cepet. Aku paham, segala sesuatu butuh proses, kan?" Zayden mengangkat dua alisnya sejenak.

Hafsah menunduk, mengangguk pelan sambil tersenyum.

Terus terang, Hafsah berusaha sekeras mungkin supaya kepala dan hatinya sinkron dan berjalan bersama. Ia berusaha menerima kenyataan, bahwa yang di hatinya tak sanggup ia dapatkan.

Sandy.

▪︎◇▪︎◇▪︎◇▪︎

Di saat yang sama, ada seseorang yang sedang Hafsah pikirkan. Pria itu berada di kamar. Sendirian, sambil mengetahui kalau sekarang Hafsah-nya sedang melakukan makan malam dengan Zayden, calon suaminya.

Selain sepupu, Hafsah itu sahabat Sandy, yang mana segala masalah hidup apa pun itu, pasti akan Sandy adukan dan curhatkan kepada Hafsah---mulai dari yang penting sampai yang tak penting. Begitu juga dengan Hafsah, ia mengadukan semua hal yang terjadi pada dirinya kepada Sandy.

YOU OR NO ONE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang