46 - Kilas Depan ***

1.2K 130 75
                                    

"Terus, Bu? Habis itu gimana lagi?" Manik gadis 15 tahun itu terbuka, ukurannya jadi sedikit lebih besar. Remaja tanggung itu penasaran bukan kepalang. Sudah begitu berminat dengan hal-hal berbau asmara. Apalagi, era global semakin menggila. Anak-anak lebih cepat dewasa. Paham akan banyak hal, lebih pandai dan cakap ketimbang orang-orang tua mereka di waktu sebelumnya.

"Masih mau dengar? Gak bosen memangnya? Kamu bilang, ceritanya sedih, nyebelin." Si Ibu sok merajuk.

Anak sulungnya menyengir. "Hehe, tapi penasaran, Bu."

"Emang harus diceritain lagi? Kan, udah tau ending-nya kayak gimana?" Ibu berdiri dari kursi. Mengakhiri cerita yang ia ceritakan sejak 13 hari yang lalu kepada sang putri.

Bagai menunggu episode dari sebuah seri drama favorit, gadis 15 tahun itu selalu menagih ibunya bercerita setiap hari, setiap pulang sekolah. Sudah kelas 3 SMP sekarang. Sebentar lagi, akan menghadapi ujian akhir sebelum kelulusan.

"Kakak!" Gadis yang lebih kecil---usia 9, memanggil dari dalam kamar. "Ajarin rumus pecahaaan!" teriaknya, kedengaran sudah putus asa agaknya.

"Iya bentar, Deeek," balas si Kakak.

"Sana, ajarin dulu itu adiknya," perintah ibunya lembut.

Si sulung merengut. Belum mau beranjak, masih penasaran dengan cerita sang ibu. Kelanjutannya dirasa belum rampung.

"Kan, udah ada aplikasi, Bu," katanya membela diri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kan, udah ada aplikasi, Bu," katanya membela diri.

"Iya, memang ada aplikasi. Tapi, lebih enak kalau diajarin langsung sama manusia di depan mata gini loh." Si Ibu meletakkan telapak tangannya di depan wajah dengan jarak 20 sentimeter.

Yang dipanggil Kakak kembali cemberut. Namun, tetap saja cantik, seperti sang ibu.

Kepala si Kakak dielus, ibunya tersenyum. "Kakak tanya Ayah, deh. Ayah juga kan tau ceritanya," ujar si Ibu dengan senyum. "Ibu aja yang ajarin Adek," lanjutnya.

Gadis 15 tahun bernama Kirana itu pun menurut. Yang penting, tidak jadi mengajari si Adek, malas benar kadang-kadang.

Kemudian, Kirana pun berdiri dari tempatnya duduk. Berjalan menuju tempat Ayah, yang Kirana ketahui sedang memangkas tanaman bonsai di halaman depan rumah.

Melihat punggung ayahnya, Kirana tersenyum cantik. Mengendap-endap ke belakang ayahnya, lalu, "Ayah!" Ia menepuk punggung pria itu, membuat sang ayah tersentak sambil beristighfar.

Kirana tertawa, puas sekali melihat ayahnya kaget. "Ayah, sini dulu." Lalu, ia lansung merangkul sebelah tangan ayahnya yang tak memegang gunting tanaman.

"Mau ngapain?" Ayahnya mengangkat hidung.

"Kiran mau nanya. Ceritanya udah makin seru banget, Kiran sampai degdegan!" Kirana berujar antusias sekali.

Ayahnya melepas gunting tanaman, lalu meninggalkan para bonsai. Sudah digandeng dan ditarik-tarik kedua tangannya oleh Kirana, si putri tertua.

"Cerita apa, sih? Cerita masa lalu Ayah sama Ibu?" tanya ayahnya, berjalan di atas rumput pendek tanpa alas kaki. Menuju kursi teras yang terbuat dari kayu berukir gaya minimalis.

Kirana mengangguk, tersenyum manis. Mereka sampai di depan kursi. Duduk bersama sebelum lanjut berkisah dan mendengar kisah.

"Perasaan, Ibu nyeritain itu tiap hari, belom kelar-kelar juga emang? Lagian, ngapain sih, Kiran, itu ceritanya malu-maluin tau, Ayah aja gak suka ingetnya. Si Ibu juga lucu banget malah diceritain." Ayah malah protes mendadak. Agak memalukan kisah masa lalunya.

"Kok malu sih, Yah? Malahan keren banget tauuu. Kayak di film-film gitu," komentar Kirana, ingin menghibur ayahnya yang lumayan anti dengan kisah masa lalu.

"Keren apaan," celetuk Ayah.

"Iiih, Ayah mah gak asik banget .... Ayah ceritain cepetan. Kata Ibu, tanya Ayah aja soalnya Ibu mau ngajarin Adek rumus pecahan." Kirana sudah tidak sabar.

Si Ayah menghela napas. "Emang udah sampai di mana ceritanya?" tanyanya mengalah.

"Udah sampai di yang Ayah bakar jagung."

"Hah? Bakar jaaagung?" Ayahnya bingung secara tidak santai, soalnya sudah lupa. Bakar jagung yang mana? Perasaan, sering sekali dia membakar jagung selama hidup.

Kirana terkikik sambil menutup mulut, meraih bahu sang ayah, menekannya, lalu membisikkan sesuatu padanya.

Mulut si Ayah agak terbuka karena serius mendengarkan bisikan anaknya yang entah mengapa harus berbisik-bisik.

Kirana selesai. Menjauhkan kembali wajahnya dari wajah sang Ayah. Berganti menjadi wajah yang penuh penantian, sebab sudah tak sabar dengan kelanjutannya.

"Oooh itu." Ayah tersenyum, langsung teringat akan kenangan indah di masa dahulu.



➴➵➶➴➵➶➴➵BERSAMBUNG....

CATATAN:
Gimana menurut kalian? Kira-kira, Kirana sama adeknya yang masih anonim itu anaknya siapa? 🙊

Oh ya, kalian gak perlu merasa kalah dari Kirana. Karena pengetahuan Kirana tentang cerita ini gak sebanyak kalian. Banyak yang disensor2 sama ibunya Kirana mengingat Kirana masih belia. Juga, banyak penyensoran terhadap adegan-adegan yang terlalu menyedihkan atau kata-kata yang terlalu ofensif dan kasar menurut ibunya Kirana, yang mana si Ibu gak mau Kirana jadi kepikiran dan ya memang gak pantas aja untuk Kirana ketahui.

So, kalian masih lebih banyak tau tentang cerita ini ketimbang Kirana! Kalian hidup satu generasi dengan orangtua Kirana. Sedangakan Kirana, letaknya di masa depan. Sekadar membawa kabar kalau dia akan ada^^

Entahlah, tapi kisah ini masih akan berlanjut. Dan seperti kata ibunya Kirana, cerita ini sudah mau habis. Dan sebagaimana Ayah Kirana yang tersenyum di akhir, menandakan kisah ini akan segera berakhir🥰

YOU OR NO ONE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang