28 - Teratai 3

706 135 181
                                    

[Sebelumnya] Tak sadar mereka, sejak beberapa saat lalu, Iza sudah terjaga, lantas berpura-pura tidur untuk menyaksikan. Menyaksikan kejanggalan, sorot-sorot mata yang tak mampu menyembunyikan cinta yang meronta-ronta.

Klek

Pintu kamar Teratai-3 terbuka. Menampilkan sosok yang tak diduga-duga. Hafsah dan Sandy menoleh bersamaan. Iza yang pura-pura tidur juga mengintip dengan mata setengah terbuka. Lantas, didapatilah suami Hafsah yang izin pulang cepat di pagi pukul 2.

Sandy berdiri dari kursinya. Menghadapkan tubuh pada siapa yang datang. Hafsah, jantungnya langsung berdebar keras. Apa suaminya akan marah karena berpikiran macam-macam?

Dengan wajah tampan yang begitu angkuh, Zayden mendekati objek yang membuat ingin melampiaskan kekesalannya sekarang juga. Namun, sebelum menuju ke objek itu, terlebih dulu ia melipir pada istrinya.

"Sayang, udah bangun?" Zayden tersenyum lembut, sambil mengusap pipi dan rahang istrinya.

Hafsah menelan ludah, tersenyum dan mengangguk kaku menatap suaminya.

Sandy melihat raut Hafsah, lantas menjadi paham, pasti Zayden sudah mewanti-wanti Hafsah juga untuk tidak dekat-dekat dengannya. Terbukti dari ekspresi Hafsah yang ketakutan seolah habis ketahuan melakukan penyelewengan---padahal, sama sekali tidak.

"Aku izin pulang cepet, mau nemenin kamu," ujar Zayden romantis.

Sandy tidak cemburu dengan apa yang ada di hadapannya. Justru, Sandy akan naik darah jika yang dilakukan Zayden adalah sebaliknya.

Kemudian, Zayden menatap ke sebelah kiri, pada arah Sandy. Memberi tatapan yang lama-lama jadi menajam sinis. "Udah lama? Dari jam berapa?" tanyanya, masih ringan.

"Belum ada 10 menit," jawab Sandy tenang.

Zayden melihat jam tangannya, mengukur 10 menit yang lalu ada di jarum panjang berapa. Lalu, mengedarkan pandangan, mendapati sang mertua sedang tidur, juga iparnya yang sedang (pura-pura) tidur. Kemudian, kembali menatap istrinya. "Aku keluar sebentar, ya. Mau ngobrol sama Sandy," ujarnya tersenyum.

Sandy menjeling sekilas pada Zayden, lalu tersenyum untuk Hafsah, memberi isyarat bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan.

"Ayo, San," ajak Zayden akrab (dibuat-buat).

Yang diajak mengangguk. Mengikuti langkah Zayden yang berjalan lebih dulu.

Merasa situasi sudah aman untuk bangun betulan, Iza pun membuka matanya. Menegakkan tubuh, bangkit dari pangkuan Mama. Kemudian, berjalan menuju Hafsah.

"Dek." Iza duduk di kursi yang sebelumnya diduduki oleh Sandy. Banyak yang ingin Iza selidiki. Namun, melihat saudara kembarnya belum sehat untuk diajak 'diskusi', Iza pun menyimpannya dulu sendiri.

"Kak Iza baru bangun apa udah dari tadi, Kak?" tanya Hafsah pelan.

Iza tersenyum saja. "Tidur, Dek. Ini udah mau subuh kamu gak tidur-tidur, ya?" ucapnya, mengalihkan topik dengan tenang.

Hafsah diam. Maniknya berkedip-kedip sering, tanda sedang gelisah. Pikirannya tidak pada tidur sekarang. "Kak," panggilnya kemudian.

"Hm?"

"Mas Zayden gak mau marahin Sandy, kan?" tanyanya polos, tidak tahu kalau pertanyaan ini membuat Iza makin penasaran.

"Kenapa harus marah? Si Mas Zay gak suka Sandy ketemu kamu emangnya?" tebak Iza, sekalian memancing.

Hafsah menghela napas dalam. Rasanya agak lega, karena ternyata sejak tadi ia menahan-nahan napas sebab banyak merasa tegang.

"Iya," lalu Hafsah menjeda. Tatapannya sendu ke depan. "Mungkin ... Mas Zayden tau," imbuhnya.

YOU OR NO ONE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang