02 - Selisih

3.1K 290 116
                                    

Sebuah salam menggema, mengiringi suara pintu rumah yang diketuk-ketuk daunnya. Giani, wanita berusia 50 tahun itu bangkit dari sofa tempatnya hampir terlelap. "Waalaikumsalam!" serunya membalas, kemudian melangkah tuk membukakan.

Setelah membuka segala kuncian, pintu itu Giani buka. Menampilkan sang putra yang mudah-mudahan membawa kabar bahagia. Belum apa-apa, ia sudah memancar senyuman. Menyambut Sandyakala yang baru datang.

Kedua insan itu masuk ke dalam rumah mereka yang tak kecil, juga tak besar-besar sekali seperti rumah seorang pengusaha kebun kopi ataupun pengusaha tambang emas.

Sandy menguncikan pintu, tak lupa menggembok bagian atasnya. Harus memperketat keamanan lantaran Papa sedang tugas luar. Kemudian, pinggangnya dirangkul oleh Giani, sang ibu.

"Gimana, Sandy?" tanya ibunya semringah dan tak sabar. Ia mengikuti langkah sang anak yang mengarah ke kamar.

Sandy tak menjawab, seolah terlalu konsen berjalan menuju kamar yang selalu jadi tempat pelarian ketika lelah. Ya sudah, Giani ikut saja. Sampai di dalam kamar, Sandy duduk di atas ranjangnya, begitu pun ibunya. Mereka duduk berhadapan.

"San, gimana?" Giani memukul pelan paha Sandy. Sudah gemas sekali sejak tadi menanti.

Sandy menghela napas berat. "Sandy gak jadi bilang," kemudian tersenyum getir. "Emangnya Buna gak tau?" tanyanya pelan, terdengar lemas seperti baru saja mengangkat beban.

Giani yang dipanggil 'Buna' itu merespons dengan sorot kepanikan. Maklum, selain riweuh, Buna ini panikan sekali orangnya. "Tau apa, San? Huh? Ada apa?" tanyanya tegang.

"Buna gak ketemu sama Tante Fina sore ini? Biasanya kan suka duduk-duduk bareng kalau sore-sore?"

Giani semakin tegang, ia menggelengkan kepala. "Buna gak tau. Hari ini belum ketemu Fina. Ada apa sih emangnya? Langsung bilang aja ih kamu tuh segala main tebak-tebakan," tukasnya, menautkan alis.

"Hafsah udah dilamar orang, Bun, kemarin malem," ungkap Sandy.

Anaknya tersenyum. Namun, Giani tak bisa turut tersenyum. Yang dibuat anaknya pun senyum palsu, tak mungkin Giani pura-pura tidak tahu. Tak mungkin jika tak ikut mendung.

Hening menyusup sejenak. Kamar bercat putih milik Sandy lengang. Terasa dingin juga temaram. Padahal, lampu kamar sedang menyala terang, AC pun belum dinyalakan.

"Terus ... diterima gak sama Hafsah?" tanya Giani tak lagi menggebu.

"Diterima, Bun," jawab Sandy berat. Ia tak menatap sang ibu. Malu, sudah gagal karena menunda selalu. Tak mendengarkan kata Buna yang menyuruhnya cepat-cepat tuk mengutarakan, bukannya selalu disimpan sampai basi dan berujung pundung.

Giani diam. Tak menatap apa-apa kecuali manik putranya. Menanti-nanti, akankah ada air yang menggenang di sana. Dan, ya, ada. Bola mata sang anak mulai berkilau, lalu menggenang, kemudian memerah.

"Sayang."

Sandy menoleh pada ibunya. Memberi sorot datar yang terluka. Haruskah Sandy mengeluarkan air mata di depan Buna? Tak malukah? Masalahnya Sandy sudah besar. Ah, biar saja. Sudah hilang rasa malunya, yang ada hanya kemurungan di dalam dada.

Satu rengkuhan tulus pun Giani berikan, ketika setetes air mata Sandy menetes di pipi kanan. Ia mengusap-usap punggung yang lebih lebar darinya. Menyapu-nyapu rambut yang lebih pendek darinya.

"Maaf ya, Bun ...," lirih Sandy sambil memeluk ibunya.

"Kenapa, Nak?" Suara Buna sedikit bergetar sedih.

"Sandy gak ikutin kata-kata Buna ... Sandy nunda-nunda. Maaf ya, Bun ...."

Giani menggelengkan kepala. "Anak Buna lagi kayak gini, mana mungkin masih Buna marahin?" sahutnya lembut, sebelum melepas pelukan mereka yang bernuansa murung.

YOU OR NO ONE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang