51 - Mester, Jatinegara

2.3K 144 164
                                    

Berita jadiannya Sandy dan Hafsah menyebar cepat di kalangan keluarga. Tentu saja, itu semua karena para orang tua bertindak bagai interogator begitu anak mereka pulang makan malam kala itu. Mereka menanyakan apa saja yang Sandy dan Hafsah lakukan, apa saja yang mereka bicarakan. Pokoknya, full of kekepoan.

Kejadian tersebut sudah 3 bulan berlalu. Berarti, 9 bulan lagi menuju pernikahan. Hmmm. Lama sekali, kata Sandy. Keburu tua, kata Om Indra. Sabar dulu, kata Buna.

Kemudian, Hafizah kita. Bagaimana keadaan hatinya yang entah mengapa harus jatuh cinta pada lelaki yang juga dicintai adik kembarnya? Gadis cerah itu baik-baik saja. Skenario ini sudah ada di kepalanya. Tidak kaget, justru ikut senang dan lega meski ada setitik sedih yang tergambar di hatinya.

Tidak, Iza tidak pura-pura bahagia. Meski menaruh hati pada Sandy, ia sadar penuh bahwa perasaannya cuma sepihak. Akan menyakitkan jika Iza 'memaksa' Sandy mencintai balik ketika tahu Sandy tidak mau berasmara lagi setelah kegagalannya melamar Hafsah 21 bulan silam.

Akan banyak yang menahan sakit batin bila Iza memaksakan diri dan tak mau 'mengalah' pada Hafsah yang jelas-jelas begitu Sandy cinta dan saling mencinta dengan Sandy. Dengan kata lain, Iza melakukan semua kerelaan ini karena realistis, objektif, dan suportif. Maka, sayang yang Iza gadang-gadang terhadap Sandy dan Hafsah bukanlah sandiwara belaka, semuanya terverifikasi, tulus, penuh keikhlasan.

"Za, si Zidan nyariin, tuh. Di deket pohon rambutan."

"Zayden, Ni, Zaydeeen." Iza membetulkan ujaran Nia, temannya yang berprofesi sebagai suster puskesmas.

"Oh iya, maap. Suka lupa namanya," balas Nia.

Lalu, Iza berdiri dari tempat duduk. Meraih jaket hitam dari sandaran bangku. "Ngapain, sih?" gerutunya sambil mengenakan jaket.

"Jangan galak-galak, ntar suka," celetuk Nia.

Mata Iza berhasil membesar. "Mantan laki kembaran gue dia, yekali!" ketusnya, menyibak rambut panjangnya ke belakang. Terlihat sangat tajam.

"Ya gak apa-apa, turun ranjang. Eh, naik ranjang, eh, apaan sih istilahnya, tuh?" Nia bingung sendiri, lalu terkekeh.

Iza memutar bola matanya malas. "Hm, iya, terserah Nia yang paling cantik aja. Gue ke depan dulu, ya. Mau nanyain si Zidan ada hajat apa nemuin gue," ujarnya lancar setengah bercanda.

Nia tertawa. "Iya. Sono, gih!"

Kebetulan, Iza memang sudah menyelesaikan shift paginya. Kini, ia siap untuk pulang. Di luar masih sore, pukul 5. Ia pun bergegas meninggalkan puskesmas setelah pamit kepada Nia.

Setibanya di luar bangunan puskesmas, kaki Iza sampai di pelataran. Menatap Zayden yang sedang berdiri menjulang di samping pohon rambutan pendek sebelah badan jalan raya.

"Jalan-jalan membeli kain katun, pulangnya bareng Eyang Subur. Kalau Sandy bikin gue pingin pantun, Mas Zayden malah bikin gue pingin kabur." Iza berpantun dalam hati. Sudah lama juga tidak mendengar pantun Iza yang kaya akan diksi.

Namun, ya mau bagaimana lagi? Orangnya sudah terlanjur ada di sebelah pohon rambutan. Masa mau dicueki begitu saja? Iza juga masih punya perasaan. Gadis itu pun mulai melangkah, mendekat titik diri Zayden di ujung sana.

Tatapan Zayden pun menangkap, lantas menatap kedatangan wanita yang sudah ia tunggu 10 menit lamanya. Tidak memberi senyuman, wajah Zayden biasa saja seolah tak merasakan apa-apa.

YOU OR NO ONE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang