18 - Dari Gunung Mahesa

814 131 83
                                    

4 hari kemudian

"Janji ya, San? Habis ini kita ke taman bunga lagi?"

"Iya, Sayang. Janji."

"Mau taman bunga lavender."

"Iya, Sayang ... ada di atas Gunung Mahesa."

Lagi, lagi, dan lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lagi, lagi, dan lagi. Entah sudah yang ke berapa kali. Bahkan, Sandy sudah malas menghitung para mimpi. Matanya baru saja terbuka di jam 2 pagi. Habis mimpi indah dengan sang kekasih. Kekasih? Cih, Sandy mendecih sinis. Maniknya menatap langit-langit, mengingat-ingat cerita mimpinya yang terlalu manis.

Hening merambat dari kepala sampai ujung kaki. Lama-lama, pandangan sinis Sandy memedih dan menyedih. Nanar, pahit. Terhempas lagi. Maniknya memanas lagi. Letih, tapi tak bisa ditanggulangi. Mengalir lagi. Menyeka lagi. Hancur lagi.

Bagaimana bisa sembuh?
Setiap hari Sandy mengobati lukanya dengan obat-obat yang beragam. Tapi, bagaimana bisa sembuh kalau setiap habis diobati, luka itu kembali teriris setiap hari? Berdarah lagi, lalu terluka lagi. Semakin perih. Kapan mau sembuh dan kering? Kapan? Sandy menanti. Namun, ia malah menangis, karena luka yang berusaha ia obati kembali tersayat lagi dan lagi.

"Gunung Mahesa ... di mana itu? Gak ada," gumamnya pahit, menggeleng-geleng pelan. Air mata sudah membasahi pelipis-pelipisnya. "Gak ada yang namanya Gunung Mahesa, woy! Udah gila lo, Sandy! Sinting!" Suaranya meninggi kalap, lalu tertawa. Kemudian, bahunya bergetar karena menahan air mata. Masih dengan suara tawa yang dipaksakan.

Lalu, Sandy meringkuk menyamping. Air mata ikut mengalir ke samping. Tangannya meremas seprai, lalu memukul-memukul kencang bantal guling. "Sadar, Sandy, sadar!" Ia membentak, melempar bantal gulingnya. Bangkit, melempar bantal kepalanya. Turun dari ranjang, menyerang meja belajarnya. Barang-barang berjatuhan. Ribut, berkelontangan. Sandy berteriak emosional.

"Tolol! Tolol lo, anjing! Tolol!" jeritnya mengumpat. Tak peduli jika orangtuanya mungkin mendengar.

Sandy gelap mata, hilang akal. Lalu, ia terengah, berdebar-debar, akibat emosi yang membabi buta. Merajalela. Ia menyalakan saklar, kamarnya jadi terang. Menghampiri cermin, menatap bengis dirinya. Rasanya mau menumbuk kaca, tetapi ia belokkan, meninju keras pintu lemarinya.

BUGH!

"Manusia paling tolol!" bentaknya pada cermin. "Sandy, woy! Bangun, Goblok! Jangan gila! Hidup lo masih panjang! Stop mimpiin Hafsah terus, dia istri orang! Lo siapa? Lo gila! Lo cari perempuan lain! Perempuan lain banyak! Lo deketin Iza, Gisel, siapa lagi itu? Silvi, iya. Siapa lagi? Temen-temen alumni. Banyak!" Suara Sandy mulai serak, sebab meledak kencang penuh amarah. Napasnya tersengal, lalu sesak. Amat sesak. "Brengsek!" Sandy memukul tembok.

YOU OR NO ONE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang