41 - Rumpun Reruntuhan

792 141 152
                                    

[Sebelumnya] Zayden, hanya menatapi kedua orang itu dengan tatapan cenderung datar. Ia sudah tiba sejak beberapa saat silam. Mendengar kalimat-kalimat Sandy yang berusaha menguatkan. Mengira-ngira, tampaknya perasaan hati akan kembali terhempas.

Lantas, pria itu tersadar. Mengapa dirinya diam saja?

Mata Zayden membesar nyalang, sambil mendekati Sandy juga Hafsah. Meninju lengan Sandy begitu kuat, sambil mengumpat, "Setan! Lepasin istri gue! Dasar gila!"

Sandy sedikit meringis karena tinjuan Zayden, melepas Hafsah dari dekapannya. Hafsah, seketika tubuhnya terasa kosong dan hampa. Ia terkejut karena semuanya. Masih sesegukan belum bisa dihentikan.

Zayden menarik Sandy dari aspal, membuatnya berdiri berhadapan. Mencengkram kerah Sandy dengan penuh amarah. Wajah Zayden sudah ganas bagai singa yang lapar. "Jangan sentuh istri gue!" desisnya di depan wajah Sandy.

"Maaf. Tapi, lo juga jangan jadi suami bajingan," balas Sandy mendesis.

"Lo lebih dari bajingan." Zayden tak mau kalah.

Tangis Hafsah terdengar lirih dan pelan. Perempuan itu masih duduk di atas jalanan kompleks yang lengang dan temaram. Memeluk tubuhnya sendiri dengan pikiran tak terarah.

Sandy melirik Hafsah, lalu kembali menghunus Zayden tepat di mata. "Bujuk istri lo," desisnya rendah dan geram.

"Bukan urusan lo." Remasan pada kerah baju Sandy, ia eratkan.

"Stop jadi laki-laki egois yang cuma mementingkan kepuasan ambisi semata," ujar Sandy lagi.

"Sekali lagi lo ngomong, gue ancurin muka sok baik lo ini." Zayden kian mengetatkan cengkraman. Wajah mereka pun kian dekat.

Detik selanjutnya, Sandy meludahi wajah Zayden.

Zayden refleks terpejam. Naik pitam. Meradang. "Anjing lo, sialan!" umpatnya sebelum menumbuk Sandy lagi, kali ini di wajahnya.

Sandy tersungkur, bersamaan dengan Hafsah yang memekik terkejut.

Zayden mendekat pada Hafsah, menarik tangan wanita itu dengan kasar. "Pulang!" gertaknya.

"Gak mau!" Hafsah berteriak nyaring dan serak. Berusaha meronta, melepas cekalan Zayden dari tangannya. Namun, sia-sia saja. Zayden terlalu kuat untuk ia lawan.

Tangan Sandy mengepal. Ingin sekali meninju Zayden karena sudah mengasari Hafsah.

"Gak mau apa maksudnya? Maunya pulang sama Sandy, gitu? Pulang!" Zayden kembali menyergah.

Sandy sudah hilang kesabaran. Ia bangkit dari aspal. Berlari menuju Zayden, lantas melayangkan tinjuan untuk lelaki sialan itu. Tapi kemudian, gerakannya tertahan. Ada yang menahan. Sandy menoleh.

"Udah! Cukup! Gak usah ikut campur urusan mereka!" Indra membentak anaknya. Menahan kepalan tangan Sandy yang hampir mendarat di wajah Zayden yang tampan, namun menjengkelkan.

Semua orang terdiam. Bahkan, Hafsah pun tersisa sesegukannya saja. Tangannya masih dalam genggaman Zayden.

"Ini udah jam berapa? Udah mau jam 12! Kalian berantem di jalanan komplek, udah pada gila? Kalau diliat orang, gak malu?" Indra kembali menghardik, pada Sandy juga Zayden.

Kemudian, tatapan Indra tersemat pada Zayden. "Terutama kamu. Kamu polisi kan kalau saya gak salah? Bukan preman, kan?" sarkasnya. "Jaga nama baik kamu, jaga nama baik pangkat kamu. Yang paling penting, jaga perasaan istri kamu!" lanjutnya tegas.

Kemudian, Indra menatap Hafsah. Sang keponakan begitu kacau. Wajah merah, basah, berkeringat, rambut awut-awutan. Terlihat begitu menyedihkan dan putus asa.

YOU OR NO ONE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang