21 - Redam Bersama II

1K 128 90
                                    

"Gue ngerasa ... Hafsah tuh kayak menyembunyikan ... memendam sesuatu gitu, deh."

"Memendam apa maksudnya?"

"Gak tau. Gue liat tadi dia sering ngeliatin lo diem-diem."

"Mungkin dia mulai sadar gue ngejauh? Gak apa-apa, buat kebaikan dia juga. Gue gak mau Zayden salah paham sama gue. Yang paling parah, gue gak mau Zayden marahin Hafsah karena masih deket sama gue. Gue gak mau Hafsah susah gara-gara gue ...."


Percakapannya dengan Iza di hari kemarin melahirkan lumayan banyak topik. Mulai dari fakta mencengangkan seputar Zayden dan Iza yang belum pernah terungkap selama ini, hingga asumsi Iza tentang Hafsah yang menyimpan sesuatu tentang Sandy.

Ya, hal-hal di hari kemarin berputar-putar di otak tampan Sandy. Namun, Sandy lumayan lelah untuk mencerna lebih dalam. Tenaganya sudah terkuras banyak untuk berpindah dari Hafsah, cinta dalam diam 6 tahunnya---yang sampai sekarang belum berhasil juga, meski sudah 3 bulan lebih mencoba.

Namun, walau hati menelan pahit khianat, teriris cinta yang tajam menghujam, Sandy tetap mendamba kebahagiaan untuk Hafsah. Meski asa asmara tergerus takdir yang menerkam, Sandy ikhlas demi senyum indah di bibir Hafsah. Bila Zayden dapat membawa sejuta ceria untuk Hafsah, Sandy akan selalu rela dan lapang dada. Kendati jiwa remuk oleh sebab usaha melupa, setidaknya Hafsah selalu terlihat senang di samping Zayden, prianya.

Tak masalah Sandy menahan panah kesakitan, bila itu untuk melindungi Hafsah dari goresan. Tak apa Sandy menangis sendirian, asal Hafsah dapat tertawa dalam gelimang bahagia.

Mungkin memang bukan Sandy yang tertulis di langit-Nya untuk Hafsah. Mungkin bukan Sandy yang Hafsah inginkan. Sandy terima. Maka, ia menaruh harap, semoga Zayden takkan menggores hati puan cintanya walau setitik saja.

Pukul 8 pagi. Sinar mentari menembus kaca jendela kamar Sandy. Menyiram iras elok yang belakangan agak pucat pasi. Maklum, kerap tidak tidur sampai pagi. Disuruh berjemur setiap pagi oleh Buna, namun Sandy malas sekali. Dari kamar saja, nanti juga mataharinya masuk sendiri.

Sandy memejamkan mata. Tak sanggup jika harus beradu tatap dengan sang cahaya gahar. Namun, ia meletakkan wajah dan sebagian tubuhnya di bawah sinar panas sang surya.

**

"Huh? Gimana, Za?" Sandy blank seketika saat Iza mengatakan dirinya tak bisa menerima Zayden.

Iza menghela napas. "Ini tuh sebenernya udah lama banget, San," ungkapnya pelan.

"Udah lama?" Sandy mengulangi lantaran semakin kaget.

Iza mengangguk.

"Kok gue gak tau? Kayak gimana ceritanya?" tanya Sandy.

"Jadi, dulu tuh gue ketemu Zayden pas masih SMA kelas 12. Kalau lo sama dia waktu itu udah kuliah. Terus, dia kan sering ke rumah lo tuh. Nah, bertepatan gue sama Hafsah juga sering main ke rumah lo, kan? Nah, di situ, San .... Awalnya dia ngajak gue sama Hafsah kenalan, itu di rumah lo, kok-"

Dahi Sandy mengernyit karena terlalu serius menyimak. Ia juga mengingat-ingat. Dan, ia pun ingat karena dirinya melihat sendiri perkenalan tersebut.

"Setelah kenalan sama gue dan Hafsah, dia minta nomor HP kita berdua. Habis itu, mulai deh dia chatting-chatting gue sama Hafsah. Terus ... singkat ceritanya aja, ya. Singkat cerita, si Zayden ngomong ke gue ...." Iza menjeda karena mengingat dulu.

YOU OR NO ONE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang