4.Pulang bersama

4.8K 837 129
                                    

Friska naik ke atas jok scoopy milik Adam, tadi Syam sudah pergi duluan mengantar Nasya. Friska memakai helm sambil cemberut, tentu saja ia terpaksa pulang bersama Adam. Hari sudah mulai sore, Friska bingung mau pulang naik kendaraan apa.

"Buat apa nih?" Friska menatap Adam yang menyodorkan tas hitam.

"Buat pembatas, biar nggak kebanyakan dosa," jelas Adam.

Friska menaruh tas tersebut di tengah-tengah. "Segitunya banget lo nggak mau deket-deket sama gue."

"Mau, kata siapa nggak mau?" tanya Adam.

"Ini buktinya, pakek pembatas segala," balas Friska.

Adam tersenyum tipis. "Bukan mahram ukhti."

"Ya ya ngerti gue, lo pikir gue nggak ngerti!" sewot Friska.

"Tenang ya, kalau nanti kita udah nikah saya pasti bakal deket terus sama kamu. Saya nggak bakal biarin kamu jauh dari saya," ujar Adam.

Friska melotot membuat Adam tertawa pelan. Adam mulai menyalakan mesin motornya, setelah itu Adam melajukan motornya meninggalkan area kampus. Friska menghela nafas panjang dan berpegangan pada besi motor.

Biasanya jika naik motor Friska selalu memeluk erat Syam, tentu saja sekalian modus. Tapi sekarang Friska naik motor bersama Adam, seorang cowok yang bisa di bilang sholeh. Rasanya Friska seperti di bonceng oleh tukang ojek.

"Sabar ya," ujar Adam.

"Hah? Sabar apa?" Friska sama sekali tidak mengerti dengan ucapan Adam.

"Kamu pasti sedih ya nggak bisa naik motor sambil meluk saya." Adam menatap Friska lewat kaca spion.

Friska mendelik kesal. "Dih, pede lo! Mana ada gue pengen meluk lo."

"Bisa nggak kalau ngomong yang kalem dikit, nggak usah sambil melotot," ucap Adam.

"Nggak bisa! Suka-suka gue lah, orang ini mata gue!" Friska semakin sewot saja.

"Lihat aja kalau kamu udah bucin sama saya, pasti kamu bakal senyum terus." Adam percaya, jika nanti Friska menyukainya gadis itu pasti tidak akan melotot lagi pada dirinya.

Friska menatap ke arah samping. "Adam sinting, nggak ada sejarahnya gue bakalan bucin sama lo."

Adam tersenyum dengan tatapan fokus ke depan. Orang bilang benci bisa berubah menjadi cinta, kita lihat saja apakah suatu saat nanti Friska akan mencintai Adam. Bisa saja Friska akan bucin dengan Adam dan perlahan mulai mengikhlaskan Syam.

"Ada yang bilang ucapan adalah doa. Saya doain semoga kamu yang bakal jadi istri saya," ucap Adam.

"Heh nggak mau, tarik kata-kata lo!" sergah Friska.

***

Karena hari sudah mulai sore Syam memutuskan untuk mengantar Nasya pulang. Nasya menaiki motornya sendiri, sementara Syam mengikutinya dari belakang. Nasya menghentikan motornya kala sampai di rumah, Syam juga ikut menghentikan motornya di samping Nasya.

"Makasih kak." Nasya menatap Syam.

Syam mengangguk pelan. "Lain kali kalau udah mau sore langsung pulang."

"Oh iya, aku udah save nomer kakak." Nada suara Nasya terdengar ragu.

"Nomer gue?" Syam pura-pura tidak tahu.

Nasya menatap depan. "Itu yang ada di uang dua ribu."

"Itu bukan nomer gue, itu nomer sedot wc." Tentu saja Syam berbohong.

Nasya melongo. "Emang iya? Tapi di situ ada nama kakak."

"Mungkin cuma mirip," ujar Syam.

Nasya mengangguk pelan, rasanya sedikit kecewa. Tapi sangat tidak mungkin jika itu adalah nomer sedot wc, jelas-jelas di situ tertulis nama Syam. Nasya ingin sekali menyangkal, tapi Syam sendiri yang bilang jika itu bukan nomernya.

"Nanti aku hapus deh nomernya," ucap Nasya.

"Lo percaya kalau itu nomer sedot wc?" Syam menatap lekat Syam.

"Kan kakak sendiri yang bilang." Nasya sendiri bingung harus percaya atau tidak.

"Itu nomer gue, kan lo yang kemaren minta," ujar Syam.

"Tapi kan itu kemaren, kakak juga nggak mau ngasih katanya privasi," balas Nasya.

"Berarti lo nggak mau? Ya udah nggak usah di save." Syam sendiri tak tahu alasan dirinya tiba-tiba memberikan nomernya kepada Nasya.

Nasya menggeleng cepat. "Kalau nomer kakak aku save berarti aku boleh chat kakak?"

Syam terdiam sejenak. "Boleh, tapi jangan chat kalau nggak penting."

Nasya mengangguk lesu. 'Ya, berarti nggak bisa modus dong. Eh, istighfar Nasya.'

***

Saat Syam memasuki kamar Evin ia sedikit terkejut, di sana tidak hanya ada Evin, tapi ada Chiko dan juga Jey. Syam semakin merasa aneh saat Chiko dan Jey menatapnya sambil tersenyum tidak jelas. Syam mengusap lehernya kemudian bergabung bersama mereka.

"Cie calon pak dokter udah gede," ledek Chiko.

Jey menyenggol pelan lengan Syam. "Nggak nyangka ternyata lo bisa suka sama cewek."

"Kenapa sih?" Syam sama sekali tidak mengerti.

"Gue bilang ke mereka kalau lo habis nganterin temennya Ajwa pulang." Evin memakan oreo nya dengan santai.

"Cuma nganter doang," ucap Syam.

"Ah serius cuma nganter, nggak sekalian pdkt." Chiko tersenyum jahil.

Syam menghela nafasnya. "Serius, cuma nganter aja."

"Nggak nyangka Syam, selera lo ternyata yang kelihatan sholehah ya," celetuk Jey.

"Tapi kayaknya dia suka sama lo deh Syam," sahut Evin.

"Masa?" Syam menatap Evin.

Chiko dan Jey langsung terbahak saat melihat wajah Syam yang memerah, persis sekali seperti kucing perawan yang sedang kasmaran. Evin hanya tersenyum sambil memakan oreo nya, sedikit tidak percaya jika wajah Syam memerah karena seorang wanita.

"Buset! Wajah lo merah tuh." Chiko memegangi perutnya yang terasa kaku.

"Lo salting kah?" Jey menatap Syam.

Syam memalingkan wajahnya. "Ya nggak lah!"

"Emang ya, semua orang kalau jatuh cinta pasti malu-malu kayak kucing perawan," celetuk Evin.

"Pak wakil jangan ngikutin jejaknya si bos. Bilangnya nggak suka eh nggak tahunya akhirnya bucin." Chiko terbahak.

"Indonesia keras bos ... Bilangnya cuma teman, eh ujung-ujungnya malah taarufan!" seru Jey.

"Asek! Surabaya keras bos, bilangnya nggak suka tapi diem-diem perhatian." Chiko kini ikut-ikutan.

"Demi oreo, si Al banget itu mah," sahut Evin.

Semua tertawa kecuali Syam, Syam merogoh saku jeketnya dan mengambil sebuah cutter kecil. Seketika suasana langsung sunyi, tidak ada lagi suara tawa yang terdengar. Evin saja sampai berhenti mengunyah oreo karena terkejut.

"Diem atau mau terapi mulut. Lumayan lah simulasi buat jadi dokter bedah." Syam memutar cutter tersebut.

Chiko membekap mulutnya sejenak. "Calon pak dokter ngeri pisan."

Evin menelan oreo yang telah ia kunyah. "Gila! Mirip psychopath."

"Asli nggak tuh." Jey memegang cutter itu menggunakan jari telunjuknya.

"Mau nyoba biar tahu asli atau nggak," tawar Syam.

Jey menyengir lebar. "Nggak makasih, damai Syam damai."

Bersambung...

Syam StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang