33. Mungkin Ini Saatnya

535 57 6
                                    

Hari demi hari berlalu. Tak terasa hampir tiga tahun rumah yang dahulu sepi, kini selalu diramaikan oleh tawa maupun tangis dari kedua bocah kecil yang mulai tumbuh besar.

Perasaan tak rela sering dirasakan Seohyun sebagai seorang ibu, melihat kedua putranya yang dalam hitungan bulan akan menginjak usia tiga tahun.

Masih teringat dengan jelas saat kebahagiaan itu menghampirinya dan sang suami ketika mendapat kabar bahwa dirinya sedang hamil. Waktu sembilan bulan terasa sangat singkat, hingga akhirnya si kembar pun lahir ke dunia ini. Rasa bahagia saat mendengar kata pertama yang keluar dari bibir si kembar. Langkah pertama di mana kedua kaki kecil itu melangkah menghampirinya.

Seohyun mengingat semua momen membahagiakan yang kelak semua itu hanya akan menjadi kenangan. Membayangkan kedua putranya kelak akan beranjak remaja, di mana waktu yang mereka habiskan tidak akan sebanyak sekarang. Tak terasa semua itu pun membuat air matanya jatuh membasahi kedua pipinya. Belum sempat ia menghapus air mata itu, perhatian si kembar yang sejak tadi sibuk bermain kini fokus kepadanya.

"Mami, Mami kenapa?" tanya Hasan, bangkit berdiri sambil melempar mainan yang sejak tadi membuatnya mengabaikan sang ibu. Ia duduk di atas paha kiri sang ibu, lalu tangan kecilnya terangkat menghapus air mata yang jatuh di kedua pipi ibunya.

Husein terdiam menatap sang ibu, perlahan bibirnya turun ke bawah dan lima detik kemudian air mata pun jatuh bersamaan dengan isakan kecil yang keluar dari bibirnya. "Hiks... Mamiiii....," gumamnya di sela-sela tangisannya yang membuat sang ibu terkejut.

"Eh? Dedek kenapa nangis? Sini, Nak, Mami pangku," ujar Seohyun sambil mengulurkan tangan kanannya, lalu meraih tubuh si bungsu yang duduk di paha kanannya.

"Cup, cup, cup...," ucap Hasan seraya menepuk-nepuk paha adiknya, lalu tangannya terangkat menghapus air mata di pipi Husein. "Dedek kenapa nangis?" tanyanya dengan suara cadel.

"Maminya nangis, Dedek sedih, Aa," jawab Husein yang masih menangis.

"Mami udah gak nangis, Sayang. Tuh, Dedek liat, kan?" tanya Seohyun, lalu memasang senyum terbaiknya untuk kedua putranya yang ikutan sedih.

"Iya, Dedek jangan nangis lagi, ya. Nanti mata Dedek sakit," ucap Hasan masih berusaha menenangkan sang adik. Ia memeluk tubuh adiknya dan sang ibu bersamaan, lalu menepuk-nepuk bahu keduanya. "Mami sama Dedek jangan nangis lagi. Nanti Aa sama Abi ikutan sedih."

"Dedek sayang Aa," ucap Husein, membalas pelukan sang kakak.

"Aa juga sayang Dedek," balas Hasan.

Seohyun tersenyum kecil mendengar percakapan kedua putranya. Si sulung yang selalu berusaha bersikap lebih dewasa dari adiknya, dan si bungsu yang selalu bersikap manja pada sang kakak. Padahal usia keduanya hanya berjarak dua menit, namun terlihat sekali perbedaannya. "Kesayangan Mami udah makin besar. Tadi Mami nangis karena nanti kalo kalian udah  sebesar Om Minho, kalian pasti malu untuk peluk dan cium Mami dan Abi."

Hasan menggelengkan kepalanya, tak setuju dengan ucapan sang ibu. "Aa gak akan malu. Kan, Aa sayang sama Mami dan Abi," ucapnya, lalu beralih mencium pipi kiri sang ibu.

"Dedek juga," sahut Hasan, mengikuti sang kakak mencium pipi ibunya.

Seohyun tersenyum lebar saat kedua pipinya dicium dengan begitu lembut oleh kedua putranya. "Janji, gak akan malu peluk dan cium pipi Mami sama Abi kalo kalian berdua udah besar?" tanyanya, mengacungkan kedua jari kelingkingnya yang langsung disambut jari kelingnya mungil si kembar.

"Janji!" jawab si kembar kompak.

Seohyun memeluk tubuh mungil kedua putranya, seraya mencium kepala si kembar bergantian. "Aa sama Dedek jadi anak salih, ya, Nak. Mami sama Abi gak pernah bosen doain yang terbaik untuk kalian."

Hijrah Cinta (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang