Bab 23

5.3K 854 27
                                    

Hubunganku dengan Ryvel dan Aster semakin dekat sejak kejadian di pasar. Aster sering mengundangku untuk minum teh di istananya bersama dengan Ryvel. Dan Ryvel sering mengantarku pulang ke istana Pangeran ke-empat. Meski Ryvel seorang Pangeran ke-sebelas dan di abaikan kudenger di istana ini bahwa kemampuan berpedang Ryvel sangatlah hebat. Dia menjadi seorang sword master di usia muda. Banyak yang mengatakan jika Ryvel memiliki ibu seorang bangsawan maka bisa saja ia menjadi pewaris tahta. Namun sayangnya ibu Ryvel dari kalangan rakyat jelata dan meski ia hebat ia sama sekali tidak memiliki ambisi untuk naik tahta. Di pikirannya hanya ada kebahagiaan adiknya.

"Yang Mulia, saya mendengar banyak rumor tentang kehebatan Yang Mulia. Saya penasaran kenapa Yang Mulia tidak memiliki ambisi untuk tahta?" tanyaku kepada Ryvel ketika ia mengantarku untuk pulang ke kediaman Pangeran ke-empat.

"Saya tidak memiliki ambisi untuk memiliki tahta." jawabnya.

Aku penasaran, kenapa ia tak memiliki ambisi memiliki tahta?

"Apa anda memiliki ambisi lain?" tanyaku.

Ryvel menghentikan langkah kakinya dan tersenyum lembut. "Saya ingin pergi dari istana ini bersama adik saya. Sebenarnya, ini rahasia saya berdua dengan Aster. Tapi saya tidak mengerti, rasanya seperti akan baik-baik saja jika saya mengatakannya kepada anda. Jika perang ini selesai kami akan pergi meninggalkan Mileya dan tinggal di sebuah pedesaan yang indah."

Aku terkejut mendengarnya. Dia ingin meninggalkan kerajaannya? Kenapa?

"Anda pasti penasaran, kenapa saya ingin pergi dari sini." ujarnya dengan menatapku.

"Benar Yang Mulia."

"Hidup menjadi seorang Pangeran dan Putri Kekaisaran tidaklah mudah Nona. Anda tidak memiliki banyak kebebasan seperti yang lainnya. Saya dan Aster ingin bebas dan hidup di tempat damai berdua."

Ah, aku mengerti sekarang. Aku juga ingin seperti itu. Aku ingin hidup bebas di tempat damai bukan di istana yang dipenuhi dengan darah. Mungkin sebagian orang berfikir istana adalah tempat yang damai, namun istana juga bisa menjadi tempat yang sangat berbahaya. 

"Nona kenapa?" tanya Ryvel.

"Saya iri dengan Yang Mulia."

"Iri?"

"Iya, saya juga ingin hidup bebas tanpa adanya kekhawatiran sama sekali. Namun, sayangnya saya tidak bisa mengharapkan hal tersebut bisa terjadi."

Selama Gavril masih hidup dan tidak mengasihiku, hidup damai hanyalah sebuah angan-angan. Jika aku tidak waspada Gavril pasti akan membunuhku.

"Jika begitu, maukah nona ikut dengan saya?"

Aku menatapnya.

Ryvel tersenyum. "Jika nona mau, saya bisa membawa anda pergi dengan saya. Saya memang tidak bisa menjanjikan banyak hal seperti materi nantinya tapi saya bisa berjanji saya tidak akan permah membiarkan anda kelaparan atau merasa tidak aman. Saya akan selalu melindungi anda dengan segenap nyawa saya seperti saya melindungi adik saya."

Tanpa aku sadari air mataku jatuh. Aku terharu mendengarnya. Aku ingin menerima uluran tangan tersebut agar bisa pergi bersamanya, tapi pada akhirnya pria di depanku ini akan tiada sebentar lagi di tangan Gavril.

"Uhuk,"

Aku menutup mulutku, Tidak. Jangan seperti ini. Aku terbatuk kembali. Bagaimana bisa sisa efek racun tersebut kambuh sekarang. Tidak boleh. Aku tidak boleh terjatuh. Aku-

"Apa anda baik-baik saja?" tanyanya khawatir.

Aku menganguk. Meski begitu nafasku mulai terasa seaak. Badanku mulai gemetar karena rasa sakit mulai menjalar lagi. 

PANDORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang