Air conditioner di kamar hotel itu memanglah dingin, tetapi bukan masalah besar bagiku. Aku juga tetap suka tidur mengenakan baju tidur yang sangat minim, kurang bahan, dan transparan, seperti yang dikenal dengan lingirie. Bukannya baju singlet, tapi malah pakaian dalam wanita yang sangat seksi. Oh bukan, lebih tepatnya gaun tidur yang teramat menggoda. Meskipun aku tidak punya pacar dan tidak benar-benar tau mengapa aku mengoleksi beberapa di antaranya. Aku sangat senang memilikinya dan memilih beberapa di toko pakaian online.
Ini semua tidak terjadi jika bukan karena Nadya yang mengenalkanku pada pakaian sensual itu. Dia yang pertama kali memberikan padaku baju tidur berbentuk dress dengan hiasan bunga-bunga kecil di sekitar lehernya yang berwarna violet, ketika aku berulang tahun ke-dua puluh empat, demi merayakan usiaku yang setara dengan lamanya aku menjomblo.
"Demi apa hadiah ulang tahun seperti ini?" tanyaku padanya ketika aku membentangkan gaun bernada violet itu. Seketika aku melemparkannya ke atas tempat tidurku, alih-alih memujinya sebagai suatu keindahan. Baju itu, hanya baju transparan yang jika ibuku tau akan dikatainya selayaknya kain untuk menyaring tahu. Persis seperti kain yang digunakan di pabrik tahu yang ada di perkampungan belakang perumahanku.
"Sexy, hot, menggairahkan. Muach...," jawabnya diikuti dengan gerakan mencium jari dengan bibirnya. Maaf aku terlalu jijik melihatnya sampai berkeinginan untuk muntah.
Aku terduduk dan mengernyit tanda kesal padanya. Idenya memang selalu gila, tapi ini mengoyak harga diriku.
"Dua puluh empat tahun umurmu dan masih sendiri, sepi mbak bro. Lihat gadis-gadis tetangga, teman sepermainanmu sudah banyak yang menikah. Belum lagi minggu depan kamu harus pergi ke kondangan depan rumah," sahut Nadya seperti lolongan anjing tetangga depan rumah. Sejenis anjing ras yang cerewetnya serupa Nadya.
"Aku tidak ingin pergi, jika aku bisa dan ibuku tidak marah," ucapku. Ucapanku itu adalah keluhan seorang gadis yang terjebak bekerja di kampung halaman usai lulus kuliah.
"Makanya, aku menghadiahimu ini," kata Nadya, kemudian memungut kembali baju yang telah aku buang. "Tema seksualitas kini bukan lagi menjadi hal yang tabu dan kamu sudah besar, 24 tahun sayang. Terlihat aneh, tapi ini adalah momentum bagi kamu untuk menjadi wanita dewasa seutuhnya. Lulus kuliah, bekerja, dan punya pacar lalu menikah. Apalagi coba yang akan kau lakukan dalam hidupmu?"
Dia benar-benar lebih dewasa dibanding yang aku bayangkan. Kedewasaannya sebanding dengan hobinya yang ganti pacar setahun sekali. Bahkan lebih sering dibandingkan aku mengganti ponsel pintarku.
Tanpa berpikir panjang, aku menerima gaun tidur itu dan memasukkannya dalam almariku. Menuruti perintahnya yang memaksaku menerima hadiah darinya dengan harapan segera mendapatkan pasangan dan menikah, menyempurnakan diri menjadi perempuan dewasa seutuhnya, katanya. Sulit memang berkawan dengan perempuan yang terlalu liberal di negara yang masih tunduk pada norma agama dan etika. Maka perempuan seperti Nadya tak ubahnya gadis gila, yang mau tidak mau harus ditemui sejalan dengan perkembangan zaman.
Seiring waktu, aku menjadi iseng mencobanya, lambat laun aku terlalu nyaman menggenakannya saat terlelap di malam hari. Desiran angin malam yang menyentuh kulit telanjangku amat candu dan aku menyukainya. Itu memberikanku kehangatan yang sensual dan membuatku dapat menikmati istirahatku dengan pulas yang tidak seperti hari-hari sebelumnya. Ku pikir itu baik bagiku, nyatanya kebiasaanku itu tidak seharusnya aku lakukan di semua tempat. Seperti kali ini, itu buruk bagiku.
Malam itu, yang ku tahu hanyalah tidur karena kelalahan. Namun, aku sempat merasakan hal yang aneh, mimpi yang sangat membingungkan. Sesuatu seolah menggerayangiku dan aku merasakannya seperti tangan besar dengan bulu yang lebat. Pipiku serasa ditempeli sesuatu yang basah dan terasa menggelitik saat leherku dilalui sesuatu yang basah itu. Lalu gelitik itu turun kebawah dan kebawah lagi mencerangkamku, hingga aku merasakan sesuatu yang sangat menyakitkan datang kepadaku dan aku merintih karenanya. Usai itu perutku ikut menegang dan semuanya kembali menjadi normal. Aku kembali tertidur pulas. Mimpi yang aneh.
"Duar..."
Sebuah suara ledakan tiba-tiba membuatku terjaga dari tidurku. Ah... aku masih malas untuk bangun. Kurasa ini belum pagi dan aku masih harus meneruskan tidurku lagi. Belum sampai membuka mata, aku telah memutuskan untuk tidur kembali. Namun, semua ini terasa aneh dan asing bagiku. Seingatku aku berada di kamar hotel yang dingin semalam. Aku tidur dengan mengandalkan kehangatan duvet cover, selimut tebal yang membuatku tidur dengan nyaman. Tetapi aku merasa membau sesuatu yang sangat asing seperti perpaduan bau logam, cologne murahan yang berbau maskulin, dan sedikit asam, ini jelas bukan bau parfum hotel. Aku juga merasakan hal yang aneh pada leherku, mengapa bantal hotel ini begitu keras. Belum lagi sesuatu yang berat menindih perutku. Aku benar-benar harus bangun, meskipun aku masih sangat sangat mengantuk. Mataku mengerjap, oh ternyata matahari telah terbit meskipun belum tinggi. Mataku kupaksa untuk terbuka dan...
Di sebelah kiri wajahku, terpampang wajah seseorang yang aku kenal. Tengah tertidur pulas dengan berbaring miring ke arahku dan bertelanjang dada. Tangan kirinya tergeletak di bawah leherku dan menjadi bantalan tidurku selama semalam. Sementara itu, tangan kanannya memelukku tepat dia atas perutku. Aku mengangkat tubuhku dan membuka perlahan selimut yang menutupi tubuhku.
"AAA..." aku berteriak sekencang-kencangnya ketika mengetahui aku saat ini tengah telanjang. Begitu juga dengan dia yang masih terlelap di sampingku. Aku bahkan tidak sengaja, oh tidak, melihat adik kecilnya saat ini tengah mengeras. Aku terkejut, amat terkejut. Tubuhku terpaku dan aku membatu. Aku terduduk dengan tangan kananku sibuk mengapit selimut yang menutup dadaku. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Di lantai kamar hotelku, telah berserakan gaun tidur seksiku dan celana dalamku yang berwarna senada. Di ujung lain, sepasang setelan celana bahan, baju hem berwarna biru muda, dasi bermotif garis-garis, kaus kutang putih ala bapak-bapak, kolor berwarna merah, dan tidak lupa cangcut pria berwarna hitam di sana, di bawah meja televisi.
Tenangkan dirimu Abhiya, ini semua hanyalah mimpi. Mimpi adalah bunga tidur yang seperti semua orang tau, selalu mengejutkan dan tidak selaras dengan realita. Batinku menghibur.
Ah ini hanya mimpi, tidak sekali ini aku bermimpi menikah dengan para lelaki yang selama ini bergantian menarik perhatianku. Batinku lagi.
Mungkin saja kau memang sedang tidak beruntung, bermimpi tidur dengannya. Kata batinku meyakinkanku dan aku berbaring lagi, mencoba untuk pulas. Jika aku terbangun di alam mimpi, maka aku harus tertidur lagi agar bisa terbangun di dunia nyata.
"AAA...
Namun, seketika aku terkejut dan berteriak lebih kencang daripada sebelumnya. Tangan yang masih berada di atas perut telanjangku bergerak-gerak, begitu juga tubuhnya. Tangannya sangat terasa menyentuh kulitku dengan kasar. Dia berpindah posisi dengan sekali gerak, berbaring. Matanya mengerjap-ngerjap, lalu terbuka. Tidak butuh hitungan detik baginya untuk menyapaku.
"Selamat pagi, Abhiya," katanya singkat. Sampai di sini aku tidak bisa lagi menyangkal bahwa semua ini tidak nyata.
"OH MY GOD...," katanya berteriak, usai menyadari apa yang terjadi pada kami. Eskpresinya terkejut, tetapi dengan cepat dia dapat mengendalikan dirinya.
Dia bangun dan duduk di atas kasur kamar hotel itu, memperlihatkan dada bidangnya dan wajah rupawannya yang alami ketika bangun tidur. Dia memang tidak terlalu atletis, tetapi dia cukup rupawan. Perpaduan wajah bundar dengan alis tebal dan hidung mancung dengan tinggi 173 cm, ditambah bulu-bulu kumis dan janggut cukup tebal yang muncul tidak beraturan minta dicukur, tidak cukup buruk untuk dipandang. Dia juga memiliki rambut lurus yang dipotong sangat pendek selayaknya perwira yang akan menempuh pendidikan. Setidaknya, begitulah dia apabila dideskripsikan dari bentuk fisiknya. Bila dideskripsikan secara keseluruhan, dia tidak begitu istimewa.
Dia menoleh padaku yang masih membatu dan malah tersenyum padaku. Aku gugup, sejujurnya aku belum bisa mencerna ini apa. Tiba-tiba naluriku menjerit dan tersadar ini bukanlah suatu keindahan yang biasa dibayangkan orang-orang. Aku mulai menitikkan air mata dan itu menjadi semakin deras bersamaan dengan matahari yang menyempurnakan terbitnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prisoner Of Your Heart
RomanceDi suatu pagi, Abhiya terbangun dengan menemukan sesosok lelaki yang tertidur pulas di sampingnya. Sebuah pengalaman malam pertama yang benar-benar tidak diinginkannya. Membuat seseorang yang biasa saja dari masa lalunya hadir untuk menawan hati Abh...