Bagian 26

127 9 0
                                    

Pagi harinya, seperti biasa aku menyiapkan sarapan, membangunkan Baskara yang masih tertidur pulas, dan bersiap-siap untuk berangkat kerja. Hari ini adalah Hari Senin, hari yang membuat semua orang merasa malas untuk memulai hari.

"Cepat bangun, berangkat kerja..." ucapku pada pria di depanku yang masih asyik meregangkan badannya di atas kasur.

"Memangnya jam berapa sekarang?"

"Jam dimana sarapan sudah siap dan aku sudah mau berangkat," kataku mengagetkannya. Dia segera bangun dan pergi ke kamar mandi.

Tut... tut... tut...

Suara ponselku berbunyi dan aku segera mengangkat sebuah panggilan dari Mbak Puji.

"Iya mbak," jawabku pada Mbak Puji yang memberikan instruksi apa yang harus aku lakukan nanti, karena dia tidak bisa datang ke kantor hari ini. Ketika menutup panggilan, aku tidak sengaja melihat chat Bang Ical padaku ketika dia akan menjemputku untuk belajar memasak pada Tante Arimbi. Tiba-tiba aku teringat dengan Bang Ical, bagaimana kondisinya? Apakah dia baik-baik saja usai kejadian kemarin?.

Naluriku memaksaku untuk meminta maaf dan menanyakan kabarnya. Jari jemarikupun mengirimkan sebuah pesan padanya. Tidak lama usai pesan itu terkirim dia membalasnya.

[Aku baik-baik saja Abhiy, tidak perlu merasa bersalah. Ini semua hanya sedikit kesalahpahaman]

[Bagaimana dengan lukamu Bang?]. balasku

[Sudah diobati, aku berkunjung ke rumah sakit sepulang mengantarmu]

[Syukurlah, kalau begitu aku tidak cemas] balasku lagi

[Tidak perlu khawatir Abhiy. Saat aku pulang, mama menanyakan kabarmu apakah kamu kembali dengan selamat kemarin? Aku memberi tahu pada mama bahwa aku telah mengantarkanmu sampai tujuan dengan selamat]

[Aku tidak menyangka Tante Arimbi akan mengkhawatirkanku, kalau begitu sampaikan salamku padanya]

[Iya, akan kusampaikan. Oh ya Bhiy, aku ingin menanyakan sesuatu. Apa benar kamu berpacaran dengan Baskara?]

Cukup lama aku mendiamkan pesan itu sembari berdandan. Akhirnya aku memutuskan untuk membalasnya dengan jawaban tidak dan meminta Bang Ical untuk tidak salah paham dengan hubungan kami.

[Jadi, mana yang benar? Kamu berpacaran dengannya atau tidak?]

"Ponselmu berisik terus, siapa sih?" tanya Baskara yang muncul dari belakangku membuatku terkaget. Dia baru saja keluar dari kamar mandi dan bau harum sabun menyeruak dari tubuhnya.

"Tidak, bukan siapa-siapa kok," jawabku, sedikit menyembunyikan ponselku. Dengan tiba-tiba Baskara merebut ponsel itu dan membaca semua pesannya. Aku mencoba untuk merebutnya kembali, namun tidak berhasil dan dia malah mengetik sesuatu. Aku tau, dia pasti membalas pesan yang dikirimkan Bang Ical padaku.

"Berikan ponselku," kataku sembari mencoba merebutnya lagi.

"Ical kan?" ucap Baskara menginterogasiku. Aku mengangguk sembari tertunduk. "Sudah, tidak perlu repot-repot meminta maaf padanya."

"Kamu balas apa barusan?" tanyaku dan dia memberikan ponselku. Aku membacanya, Baskara mengetik, "iya, dia benar pacarku, Baskara."

"Kamu apaan sih Bas, kamu balas pesan orang tanpa seijin yang punya," ucapku kesal padanya. Aku merasa sangat tidak enak hati pada Bang Ical. Sesegera mungkin pesan itu aku hapus meskipun telah terkirim. Untung saja dia belum membaca pesan itu.

"Memangnya kamu mau balas apa? Kamu balas tidak, seperti yang di atas? Atau kamu mau membalas, tidak, Baskara bukan pacarku, hanya teman kuliahku," kata Baskara dengan nada membentak, membuat hatiku langsung terasa sakit. "Jadi selama ini kamu menganggap aku apa? Tukang ojek? Seperti yang pernah ibumu bilang?"

Aku tidak pernah menyangka jika Baskara mendengar suara ibuku malam itu, empat tahun yang lalu.

"Nggak seperti itu Bas, aku bisa jelaskan ke kamu."

"Jelaskan apa? Jelaskan kalau kamu menaruh hati pada Ical, jelaskan kalau kamu senang pergi dengannya. Merayakan ulang tahun dengan keluarganya, diberi hadiah kalung mahal olehnya? Iya seperti itu kan?" tanya Baskara menggebu-gebu.

"Iya, aku memang respect ke Bang Ical dan dia juga memperlakukanku dengan baik, tidak seperti kamu," ucapku. Awalnya aku bisa menahan amarahnya, tetapi aku juga punya hati dan perasaan, aku juga tidak bisa memendam semua yang kurasakan selama ini.

"Maksud kamu?"

"Maksud aku, selama ini aku terpaksa ada di posisi ini Bas. Aku tidak pernah minta dekat denganmu, bahkan tidur denganmu. Aku tidak pernah menyangka akan terjadi hal yang seperti ini. Selama ini aku seperti terpaksa bersamamu. Semuanya tidak atas kehendakku, semua karena kamu yang membuatnya seperti ini," tuturku dengan jujur, mengungkapkan semua hal yang aku pikirkan tentang hubungan kami.

"Aku bahkan tidak tau harus menyebut ini apa? Aku bahkan tidak tau bagaimana perasaanku yang sebenarnya. Kenapa aku harus bersamamu, Bas? Aku bahkan tidak pernah jatuh cinta kepadamu."

"Karena aku mencintaimu Bhiy, aku tulus denganmu," ucap Baskara mencoba menenangkanku seperti biasa.

"Tapi aku tidak tahu apakah aku benar-benar mencintaimu atau tidak?" ucapku lirih. "Selama ini aku hanya merasa seperti berada dalam penjaramu, dalam kungkunganmu. Terkadang aku merasa seperti terbelenggu. Mengapa aku tidak boleh bertemu dan berteman dengan Bang Ical? Mengapa aku harus menerimamu tidur di tempatku setiap malam? Memangnya kamu siapaku?"

"Aku pacarmu Bhiy," sahut Baskara sembari memegangi kedua tanganku.

"Nggak Bas, aku tidak pernah bilang kita berpacaran. Apa aku pernah menyatakan kalau aku menyetujui ini semua?" tanyaku padanya. "Ini semua hanya manipulasimu agar aku takluk padamu kan? Ayo kita hentikan semua ini Bas? Semua ini Cuma akal-akalanmu belaka kan?"

Baskara hanya terdiam dan aku membentaknya. "Jawab Bas!"

"Oh, jadi selama ini kamu menganggap aku seperti itu? Kamu tidak pernah melihat bagaimana aku mencintaimu. Kamu tidak merasa dengan semua yang telah aku lakukan padamu," ucap Baskara dengan nada tinggi. "Ical, orang yang kamu hargai itu bukan orang baik, Bhiy. Aku seperti itu karena aku tau bagaimana masa lalunya dan asal kamu tau, selama ini aku mati-matian melindungi kamu Bhiy."

"Maksud kamu apa? Kamu mencoba buat memfitnah Bang Ical?" tanyaku tidak terima. "Padahal kalau kamu tahu, dia memperlakukanku lebih baik daripada perlakuanmu padaku selama ini."

"Aku tidak memfitnah Bhiy, aku jujur. Percayalah padaku," pinta Baskara mencoba meyakinkanku.

"Bagaimana aku bisa percaya jika yang mengatakannya adalah bajingan sepertimu, Bas?" kataku dengan keras.

"Kamu tahu tidak? Justru perlakuanmu selama ini yang sudah merusakku dan menghancurkan hidupku. Aku tidak mau seperti ini lagi Bas, aku ingin keluar dari penjaramu, jadi aku minta kamu buat pergi dari sini sekarang juga!" perintahku dengan penuh emosi. Aku sudah tidak tahan melihat wajahnya. Akupun ragu bahwa kita bisa bertahan terus bersama seperti ini.

"Jika kamu memang tidak bisa menerimaku sebagai seseorang yang tulus padamu, apa boleh buat. Aku melakukan semua itu karena aku mencintaimu, tapi kamu menolaknya. Jadi aku harap kamu akan baik-baik saja dengan semua keputusanmu," kata Baskara tidak kalah emosi. Dengan cepat dia memasukkan semua baju miliknya ke dalam tas dan pergi meninggalkan kamar ini.

Aku terduduk di atas ranjang ketika Baskara melewatiku. Aku tidak tahu, aku akan menjadi sesensitif ini. Air mataku pun menetes pelan-pelan dan mulai membanjir ketika dia benar-benar meninggalkanku. 

Prisoner Of Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang