Bagian 5

565 27 0
                                    

Hari ini adalah hari yang sangat berat bagiku. Hari yang mungkin tidak akan aku lupakan selama hidupku. Bukan karena pengalaman baru, tetapi lebih kepada suatu hari menyakitkan yang pernah terjadi. Hari di mana aku akan menyesalinya seumur hidupku.

Selepas Baskara pergi dari kamarku untuk bekerja, aku mencoba bangkit dari ranjang dengan perasaan benar-benar terpuruk. Begitu lama waktu yang aku habiskan di kamar mandi untuk merenung, bukannya untuk membersihkan diri. Begitu banyak concealer yang kupakaikan di bawah mataku agar tidak tampak bengkak sehabis menangis. Hari ini, rasanya aku ingin beristirahat dan menenangkan diri dalam kamarku. Namun, tuntutan rangkaian rapat ini membuatku tidak mungkin untuk mangkir.

Tok... Tok... Tok...

Pintu kamarku diketuk dengan keras selagi aku tengah mempersiapkan diri untuk bekerja. Di depan kamarku, Miss Kinan tidak sabar menungguku. "Bhiy, kita semua menunggu lo tapi tidak kunjung turun. Waktu sarapan juga nggak ada," komplainnya, kemudian dia masuk ke dalam kamarku.

"Bentar ya miss, aku mengambil tasku dulu."

"Ya ampun Bhiy. Kamar lo kenapa berantakan kayak gini?" tanya Miss Kinan setelah melihat ranjangku berantakan dan gaun tidurku berserakan di lantai. "Lo bangun kesiangan?"

"Iya miss. I'm sorry, aku udah pasang alarm tapi nggak kedengeran," jawabku lega. Untung Miss Kinan berpikir aku terlambat bangun dan terburu-buru karenanya.

"Ya udah gas cepetan, keburu mulai rapatnya," ujarnya lagi sembari melihat jam tangannya yang telah menunjukkan pukul 8.25. "Eh, nggak usah sarapan. Gue udah bawain lo roti. Sekarang kita langsung ke ruang meeting." Kami berjalan menuju ruang meeting di lantai 7 dengan terburu-buru dan terenggah-enggah memasuki ruang meeting.

"Pagi Kak Bhiya," sapa Ihsan yang sudah duduk di kursinya dan bersiap memulai rapat. Aku hanya membalas sapaannya dengan senyum tipis karena jantungku masih berdegup kencang akibat berlarian kemari.

"Kenapa bisa telat?" cerca Pak Satya.

"Bhiya bangun kesiangan," jelas Miss Kinan. Kemudian kami duduk di kursi masing-masing dan bersiap mengikuti rapat.

"Kita break dulu untuk istirahat siang, rapat selanjutnya akan dimulai pukul 13.30 WITA," kata pemimpin rapat hari ini. Semua peserta akhirnya menghela nafas mereka dan bersiap-siap untuk bubar.

"Bhiy, kamu nggak apa-apa?" tanya Mbak Puji yang duduk tepat di sebelahku. "Perasaan dari tadi banyak bengongnya dan nggak fokus."

"Tidak ada masalah mbak. I'm okay," jawabku. Sejujurnya aku memang sering terpikirkan kejadian pagi tadi, hingga membuat konsentrasiku mengikuti rapat buyar. Untung saja hari ini aku hanya perlu mendengarkan, karena tugas presentasiku telah aku laksanakan kemarin.

Aku menghabiskan istirahat siang di tempat makan dan merenggangkan badan. Aku juga sibuk mengobrol banyak hal dengan timku dan beberapa orang dari divisi lain. Obrolan kami yang seru cukup membuatku terhibur dan melupakan segala hal tentang Baskara. Para jurnalis juga tidak ada yang terlihat pagi ini, karena tugas mereka memang hanya untuk meliput acara Gala Dinner semalam. Namun, aku malah melihat Bang Ical menghampiriku di sela istirahat siangnya.

"Abhiy, bagaimana tidurnya semalam? Nyenyak?" tanya Bang Ical, lalu dia menghampiriku dengan dua cangkir kopi hitam. Dia memberikan satu cangkir padaku dan aku menghirup wangi kopinya terlebih dahulu sebelum meminumnya.

"Nyenyak kok bang," jawabku. "Terima kasih buat kopinya."

"Kartu aksesnya bagaimana? Sudah ketemu?"

"Belum. Aku sudah mencari di kamarku juga tidak kutemukan," ucapku berbohong. Tidak mungkin aku mengatakan jika kartu akses itu ditemukan oleh Baskara, dibawanya sampai sekarang, dan membuat segala kehebohan itu. Sampai-sampai aku lupa untuk memintanya kembali.

"Tidak apa-apa lah. Kan masih ada kunci cadangan itu, jadi kamu masih bisa istirahat dengan nyenyak," kata Bang Ical menghiburku atas kejadian yang menimpaku dan aku menanggapinya dengan senyum yang kupaksakan.

"Bhiya, kamu masih ada rapat lagi kan setelah ini?"

"Iya. Ada apa Bang?"

"Nanti malam, kamu mau tidak menemani aku ke suatu tempat? Aku mau mencari hadiah untuk mamaku," ajak Bang Ical.

"Sepertinya tidak Bang." Aku menolak. "Aku sedang tidak mood untuk jalan-jalan." Aku merasa tidak ingin pergi kemanapun karena kejadian itu, dan aku hanya ingin sendirian saja. Meskipun itu Bang Ical yang selalu membuatku antusias jika bersamanya, tapi aku tetap ingin menyendiri malam ini.

"Kenapa Bhiy?" tanya Bang Ical, kemudian dia menahan pergelangan tanganku yang memang akan beranjak dari tempat dudukku.

"Tidak ada alasan bang. Lain kali saja," jawabku. "Oh ya bang, aku mau balikin cangkir ke meja," ucapku memberinya kode untuk melepaskan pegangannya. Aku meletakkan cangkirku di atas meja dan meninggalkan ruangan itu menuju tempat yang lebih tenang. Aku hanya ingin sendirian, karena aku sedang dalam masa terpurukku. Aku bahkan tidak ingin orang lain tahu atas air mata yang kutahan seharian ini.

Rupanya Bang Ical mengikutiku, dia berdiri di sampingku. Kami berada di balkon lantai 3 yang posisinya tepat dibalik ruang makan. Dari situ, kami bisa melihat pemandangan pantai dan laut Bali dikejauhan. Sementara di bawah sana, kolam renang dan gazebo-gazebo tertata rapi di sekitaran kolam.

"Kamu ada masalah Bhiy? Kamu sangat berbeda hari ini?" tanya Bang Ical. Sepintar-pintarnya aku menyembunyikan diri, ternyata masih dapat terlihat oleh orang lain jika aku tengah murung.

"Tidak ada masalah bang. Hanya sedang ingin menepi saja," jawabku.

"Menepi," sahut Bang Ical yang diikuti dengan tertawa lirih. "Kamu sudah mirip sama kapal itu saja," kata Bang Ical, lalu dia menunjuk pada kapal laut yang berlayar jauh di depan pandangan kami.

"Anggap saja hari ini aku jadi kapal laut itu bang. Mungkin karena sudah terlalu lama terombang-ambing ombak di samudera, jadi kapal lautnya ingin menepi barang sebentar."

"Memang mau sampai kapan menepi?" tanya Bang Ical.

"Belum tau bang."

"Hati-hati kelamaan menepi, kapalmu bisa dibajak orang."

"Tengah berlayar saja bisa dibajak, apalagi yang menepi," ucapku. Begitulah yang aku rasakan saat ini. Ketika aku sedang berlayar, tiba-tiba satu orang asing muncul dan membajak kapalmu, hingga kapalmu rusak. Masih bagus jika hanya menepi, aku hanya takut jika aku sampai tenggelam dan karam.

"Sepertinya sudah tidak bisa berlayar lagi deh Bang. Lambung kapalku sudah rusak dan bocor," kataku tersenyum sinis. Cukup bagus mengandaikan diri sendiri dengan kapal. Pikirku.

"Sini aku bantu membetulkan kapalmu. Biar bisa berlayar lagi," sahut Bang Ical yang diiringi suara keras tawa kami. Kata-katanya memang tidak lucu, tapi Bang Ical mengungkapkannya dengan ekspresi yang menggelitik.

"Kalau bisa berlayar, kamu mau kemana? Nusa Penida? Lombok, Pulau Sumbawa?" tanya Bang Ical. Dia malah menyebutkan pulau-pulau yang ada di depan kami dengan berurutan.

"Bagaimana jika ke pulau terpencil?"

"Kamu mau sendirian di sana sama satwa liar?" tanya Bang Ical bergurau. "Kenapa bukan antartika saja?"

"Maksudnya kutub selatan? Kenapa harus kutub selatan?"

"Ya, seru saja bisa main sama pinguin."

"Nggak deh Bang," jawabku menolak. "Di puncak saja aku sudah kedinginan, apalagi kalau harus ke antartika. Aku tidak akan kuat bertahan hidup di sana."

"Ya dikuat-kuatkan lah Bhiy. Abhiya kan kuat."

"Fighting," sahut Bang Ical memberiku semangat. Dia mengepalkan tangannya dan berkali-kali mengucapkan Fighting padaku. Aku jadi tertawa melihatnya melakukan itu. Entah dari mana dia bisa tau istilah Fighting.

"Fighting," ucapku dan aku mengepalkan tanganku juga mengikutinya. Kami berdua tertawa bersama-sama dan sibuk bercanda.

Jauh di belakang kami, seseorang mengamati dengan perasaan tidak suka dengan apa yang dilihatnya. 

Prisoner Of Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang