Bagian 13

237 14 0
                                    


Rutinitas yang wajib dilakukan selama weekend adalah bangun siang. Namun, semenjak ada Baskara sepertinya agenda wajib bangun siangku akan hilang karena dia selalu bangun lebih awal. Bahkan bangun lebih pagi daripada aku. Seperti pagi ini, aku menemukannya bertelanjang dada, duduk bersila di atas karpet sambil tekun bermain game dari gadgetnya. Tidak lupa dengan sebatang rokok menyala di tangan dan kopi di atas meja yang setiap hari digunakan sebagai meja makan.

"Istriku sudah bangun?" tanya Baskara tersenyum padaku.

Aku membalas senyumnya dan bangun dari posisiku. "Ah, asap rokokmu membuatku sesak nafas," protesku padanya. Aku tidak benar-benar membenci perokok, aku hanya membenci mereka, jika asap-asapnya itu telah menganggu hidupku. Tanpa membuang waktu aku segera membuka dua jendela kamarku dan menghirup udara pagi. Ini sudah jam 8 pagi, tapi udara Jakarta di Hari Sabtu tidak seburuk hari-hari kerja. Kamar di lantai dua, cukup bagus membuat mood burukku menjadi bagus kembali. Udara yang lebih segar di bandingkan lantai satu yang lebih sesak, suasana yang lebih sepi dibandingkan lantai bawah yang lebih ramai, serta aku cukup menyukai menikmati pemandangan dari ketinggian ini. Baskara membelakangiku dan kami melihat pemandangan bawah dari jendela samping kamar. Tiba-tiba dia memelukku dari belakang dan aku mencoba untuk melepaskan diri.

"Ih... lepaskan. Bau rokok," protesku lagi. Dia memang sedang tidak menghirup rokoknya, tetapi bau badannya tercium bau rokok yang membuatku kembali sesak.

"Tidak, aku sudah nggak merokok," kata Baskara membela diri.

"Dasar perokok tidak tahu diri. Masih bau kali di badanmu, peluk-peluk lagi," ucapku dan aku berhasil melepaskan diri darinya lalu beralih ke kamar mandi.

"Sebelum bersih-bersih kos, bikin makan dulu lah. Laper..." ucap Baskara merengek.

"Sehabis sarapan jangan lupa membantuku bersih-bersih."

"Siap istriku," ucap Baskara lagi, dengan sigap dia menciup pipiku tanpa aku menyadarinya terlebih dahulu. Entah aku harus senang atau sedih dengan perlakuannya yang seperti itu, yang jelas aku masih kesal dan belum terbiasa dengan sikapnya yang tiba-tiba.

Usai sarapan, aku bergegas mencuci piring dan alat masak. Baskara menyapu dan mengepel kamar. Selain itu, kami juga berbagi tugas lainnya. Dia mengelap jendela, menata rak buku yang berantakan, menata ranjang dan membersihkannya. Sementara itu, aku membersihkan dapur, menyikat kamar mandi dan mencuci baju. Pukul 12 siang kami baru selesai melakukan semua tugas dan berkelekaran di atas karpet.

"Aduh capek sekali..." keluhku. Badanku mulai pegal-pegal.

"Kamu ingat nggak? Ini bukan pertama kalinya kita bersih-bersih bersama," ucap Baskara dan aku mencoba mengingat kejadian mana yang dia maksud.

"Memangnya pernah?"

"Ah, kamu lupa terus ya. Yang itu lho waktu aku membantumu mengepel seluruh lab gara-gara botol kaca yang dipanggang temanmu meledak," ujar Baskara. Aku ingat sekarang, sesuatu telah terjadi ketika aku tengah melakukan analisis laboratorium susulan yang gagal kulakukan karena latihan menulis di Suasana Senja itu.

Aku sibuk tertawa sembari mengingat kejadian itu. Sedangkan Baskara terus-terusan mengoceh tentangnya. "Waktu itu, karena aku sedang longgar aku chat kamu. Abhiya kamu di mana? Terus kamu menjawab, masih di laboratorium fakultas dan akhirnya aku menyusul ke sana. Ketika kamu keluar ke tempat parkir depan lab menemuiku, jujur kamu lucu banget dengan jas lab warna pink dan wajah kusam nggak tidur berhari-hari."

"Pas itu aku memang benar-benar tidak tidur. Setiap pagi sampai sore aku membantu Manda di lab dan pulangnya aku harus mengerjakan tugas analisisku sendiri. Eh gilanya si Manda malah meledakkan botol destilasi," seruku.

"Hahaha..." Kami tertawa bersama mengingat ekspresi Manda ketika dia membuat laboratorium menjadi sangat rusuh.

"Untung pas itu ada aku," kata Baskara.

"Apa hubungannya dengan ada kamu atau tidak?"

"Kamu tidak ingat siapa yang pertama kali mengambil lap untuk memadamkan api biar laboratorium kalian nggak kebakaran? Kamu tidak ingat juga siapa yang membantu kalian mengepel dan mencuci peralatan laboratorium sampai-sampai kita harus lari-larian ke taman FISIP biar tiga anak itu tidak terlalu lama menunggu kita," terang Baskara. Kejadian itu memang beberapa jam sebelum latihan menulis pengganti sesi 2 di mulai dan tiga anak yang dimaksud tentu saja Fajar, Sarah, dan Vina.

"Iya, iya terima kasih banyak," ujarku. "Kalau tidak ada kamu, aku tidak bisa membayangkan bagaimana aku sama Manda di laboratorium. Belum lagi besoknya kita harus dimarahi oleh ketua Lab."

"Sama-sama, aku nggak minta kamu buat ngasih ucapan terima kasih ke aku setelah sekian tahun. Aku Cuma pengen kamu tidak melupakanku dan segala hal yang pernah terjadi antara kita," ujar Baskara membuatku tertegun, menggali maksud perkataannya. Kemudian dia memegang tanganku erat.

"Aku tidak pernah melupakanmu Bhiy. Sedari awal kita bertemu, sekali pun aku tidak pernah."

Aku hanya menanggapinya dengan diam. Tiba-tiba dia semakin mendekat ke arahku dan menciumku dengan perlahan. Aku tidak menolaknya dan kami berciuman dengan ganas. Kami saling meraba tubuh satu sama lain dan bertelanjang tanpa sehelai benang pun. Diam-diam aku mulai menyukai meraba punggung tegapnya dan deru nafasnya ketika sedang memburu. Memburu bibirku, pipiku, telingaku, dan dadaku. Kemudian kami naik ke ranjang dan saling mendominasi satu sama lain, tanpa ada yang ingin mengalah sedikitpun.

Perlahan-lahan Baskara mulai mengambil alih tubuhku dan aku semakin tinggi menuju kenikmatan itu. Erangan saja tidak cukup untuk mengungkapkan bagaimana dia membuat gelitik kupu-kupu dalam perutku. Kami semakin berpacu hingga ketegangan itu perlahan memudar di antara kami dan perasaan lega muncul di benak masing-masing. Usai Baskara turun dari atasku, aku memberikannya ruang dan menata bantalnya untuk dia berbaring. Kami saling diam, tetapi seperti yang sudah-sudah dia memelukku setiap selesai kami melakukannya.

Tidak ada pillow talk untuk siang ini, karena kami sangat kelelahan. Aku tertidur lebih dahulu dan Baskara menyusulku. Tidak lama sejak aku terlelap, tiba-tiba aku terbangun dengan nafas yang engap. Hhhh... Hhhh... Hhhh... bunyi nafasku yang menderu dan aku segera terduduk. Baskara yang menyadari perubahan padaku, bangun dan menangkanku. Dia memelukku lagi.

Air mukaku mulai berubah. Suatu perasaan mencekam dalam jiwaku mengundang air mata untuk menetes. Aku memimpikan orang tuaku memandangiku dan aku didera jutaan perasaan bersalah. Aku mengamininya, aku memang bersalah melakukan hal yang tidak sepantasnya dilakukan dan hanya memenuhi tuntutan nafsu belaka.

"Ada apa Bhiy?" tanya Baskara ketika tangisku mulai mereda.

"Jadi kita ini apa Bas?" Aku balik bertanya dengan sesegukan.

"Apa maksudmu?"

"Kita ini apa? Kita ini, mengapa kita di sini seperti ini?" tanyaku yang mengerjutkannya. Aku bisa melihat dari raut wajahnya jika dia heran dengan perubahanku yang mendadak. Beberapa waktu yang lalu, aku memang begitu menikmati semua ini, tapi saat ini perlahan aku menyesalinya.

"Tenangkan dirimu Bhiy. Aku akan bertanggung jawab sepenuhnya entah terjadi hal baik ataupun buruk padamu. Aku mencintaimu Bhiy." Kata-kata Baskara mulai menenangkanku. "Aku hanya ingin menjagamu dan menjadi orang yang selalu ada untukmu, sayang." 

Prisoner Of Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang