Bagian 8

393 23 0
                                    


Matahari belum sedikitpun muncul ketika aku bangun dari tidurku pagi ini. Cukup lama aku menggeliat di atas kasur dan terperanjat ketika mengingat bahwa semalam aku tidur seranjang lagi dengan Baskara. Namun, ketika aku benar-benar terbangun, aku tidak menemukan Baskara di sampingku. Aku pun menyandarkan diri pada sandaran dipan dan mengamati apakah ada yang berubah dariku. Oh syukurlah, tidak ada yang berubah secara signifikan. Hanya saja rambutku tergerai, semalam aku memang merasakan tali rambutku ditarik olehnya dan dia mengelus-elus kepalaku lagi ketika aku sedang tidur. Tetapi Oh tidak, resleting jaket hoodieku terbuka sedikit dan terdapat lebam merah bekas pagutan di atas dada kananku. Laki-laki itu memang berengsek.

Aku menjadi kesal dan tidak lagi mendapatkan semangat pagiku. Aku mencoba untuk terlelap lagi, tetapi urung dan melihat media sosialku. Tiba-tiba seseorang keluar dari kamar mandi dan telah berdandan rapi, setelan lengkap dengan jas dan dasi yang dikenakannya semalam ketika baru masuk ke kamarku.

"Kamu sudah bangun?" tanya Baskara lalu menghampiriku, aku tidak menjawab karena merasa kesal padanya. Seketika dia merebut ponselku dan mengetikkan sebuah nomor. Rupanya dia menyimpan nomornya dan mengirimkan pesan teks pada nomor itu.

Ketika dia menyerahkan kembali ponselku, aku membaca kontak yang dia tuliskan pada nomornya. Suamiku tersayang. Apa-apaan ini. Batinku kesal.

"Nama kontaknya jangan diganti," perintahnya semena-mena. Lalu dia mengecup keningku dan berpamitan. "Aku balik ke Jakarta dulu, kalau kamu sudah kembali ke Jakarta aku akan menemuimu."

"Aku bahkan tidak peduli kita akan bertemu lagi atau tidak," jawabku lirih.

"Tenang saja, aku pasti akan menemuimu," ucap Baskara.

Setelah itu Baskara mengambil tas kerjanya dan memakai sepatu. Tidak lama kemudian dia telah meninggalkan kamarku. Sementara aku, bertingkah seperti orang bodoh, sibuk merutukinya, mengganti nama kontaknya dengan Singo Edan, dan tidak henti-hentinya melihat bekas pagutan itu lewat kamera ponselku hingga aku kembali terlelap.

Baru beberapa saat aku merasa tertidur nyenyak. Namun, dering ponsel telah membangunkanku. Aku segera mengangkat panggilan itu meskipun aku sendiri belum sepenuhnya sadar.

"Halo..." sapaku yang menunjukkan keberadaanku.

"Sayang, aku sudah sampai Jakarta. Baru saja sampai, tapi aku sudah kangen sama kamu." Suara Baskara dari seberang menyadarkanku akan sesuatu.

"Sekarang jam berapa?" tanyaku dengan nada polos.

"Jam 8 kurang sepuluh menit."

"TIDAKKK... aku bisa telat lagi," teriakku panik. Dengan refleks aku membuang ponselku di atas kasur dan segera berlari menuju kamar mandi. Aku akan melewatkan waktu sarapan lagi dan telat menuju ruang meeting untuk kedua kalinya. Tidak bisa dimaafkan.

"Sayang. Ada apa?"

"Halo..."

"Halo..."

Terdengar suara dari seberang yang tidak aku pedulikan lagi. Bahkan, saking paniknya aku sampai lupa untuk menutup panggilan itu.

***

Tok... tok... tok...

Seseorang mengetuk kamar kosku di saat aku sedang seru-serunya menonton drama. Oh menyebalkan memang. Ini sudah hampir jam 9 malam, kira-kira siapa yang mengetuk pintu jam segini? Mungkin tetangga kamar yang suka minta remahan bawang merah dan cabai, atau meminjam alat masakku.

"Ya sebentar," sahutku kencang dari dalam. Aku yang hanya menggunakan atasan tanktop berwarna merah segera menarik jaket hoodie untuk menutupi tubuhku. Ketika aku membuka pintu, dia telah tersenyum lebar sembari menunjukkan kantong plastik yang dibawanya mirip abang-abang ojek yang tengah mengantarkan pesanan.

Prisoner Of Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang