Bagian 11

300 13 0
                                    


"Anak gadis, calon istri orang, pulang jam 10 malam," sahut sebuah suara dari dalam ketika aku membuka pintu kamar. Dia tidak lagi duduk bersila di atas ranjang, tetapi berganti dengan selonjoran di atas karpet dan menonton TV. "Kamu meeting apa pacaran?"

"Apaan sih kepo banget sama urusan orang," ucapku pelan.

"Ya kali pergi jam 10 pagi, pulang jam 10 malam. Nggak tahu apa, yang menunggu sudah kelaparan sedari tadi," protesnya menggebu-gebu.

"Kalau lapar ya makan dong."

"Kalau cuma roti tawar sama bolen pisang, nggak kenyang dong," sahut Baskara sewot. Rupanya dia sudah melakukan operasi isi kulkas. Oh ternyata dia marah karena aku pulang terlalu larut. Tapi demi apa aku harus mengkhawatirkannya? toh dia bukan anakku.

Aku diam saja, tidak menanggapinya sama sekali. Aku membuang muka ketika melewatinya dan sibuk membersihkan diri, menghapus riasan serta berganti baju. Sejak insiden di Bali itu aku menyimpan semua gaun tidur seksiku dan menggantinya dengan T-shirt dan baju olahraga.

"Sayang, masak dong? Yang enak-enak," pinta Baskara dengan wajah memelas.

"Masak apa? Lagi pula di kulkas juga sudah tidak ada apa-apa," ucapku.

"Masak apa kek begitu. Masa kamu tega ngebiarin aku kelaparan?" Baskara mengelus-elus perutnya.

"Kamu kan bisa pesan antar. Sudah jam segini, aku sudah males masak."

Tiba-tiba terdengar bunyi krucuk dari perutnya.

"Aku sudah keroncongan banget nih. Lagi pula aku ingin sekali makan masakan kamu," ujar Baskara. Mendengar suara dari perutnya aku jadi tidak tega. Tanpa banyak basa-basi, aku segera beranjak ke kulkas dan mengeluarkan bahan-bahan yang bisa diolah. 15 menit kemudian, nasi goreng udang telah siap di meja makan, lengkap dengan telur ceplok, kerupuk, dan acar timun.

Usai aku meletakkan makanan di depannya, tiba-tiba Baskara menarikku dan mencium pipi kiriku. "Makasih sayang buat makanannya. Tapi aku lebih suka telurnya didadar," bisiknya.

"Huh..." aku mendengus kesal. Habis sudah kesabaranku. "Sudah bagus aku mau memasak, masih juga tidak terima," sahutku geram.

"Ampun... ampun... lain kali telur ceplok juga tidak apa-apa kok. Yang penting istriku tidak marah lagi," ucap Baskara dan dia segera menyuapkan nasi gorengnya. Aku mengamatinya dengan lekat ketika dia mulai menyuap, meskipun sedang jengkel padanya, sebagai seorang chef amatiran aku tetap penasaran apakah nasi gorengku kali ini layak.

"Enak nggak?"

"Enak kok. Enak banget," ujar Baskara sambil terus menyuap makanannya. Baguslah, sesuai dengan lidahku saat mencicip. Batinku lega.

"Tadi kamu sibuk pergi sama Ical kan? Makanya kamu telat pulang?" tanya Baskara usai suapan terakhirnya.

Dia benar, aku memang pergi dengan Bang Ical sepulang meeting. Namun, bagaimana dia bisa tau?

Sejujurnya aku selesai meeting sejak petang, jam 5 sore semua peserta meeting telah meninggalkan kantor. Namun, disaat aku hendak pulang Bang Ical menghampiriku.

"Bhiy, kamu hari ini ada kesibukan lain tidak?" tanya Bang Ical padaku yang sibuk merapikan berkas-berkas pekerjaan.

"Tidak kok, ada apa?"

"Kamu ingat tidak? Aku pernah mengajakmu keluar ketika di Bali?" tanya Bang Ical lagi dan aku mengangguk.

"Aku tidak jadi pergi mencari hadiah buat mamaku," tutur Bang Ical menjelaskan. "Yuk menemaniku mencari hadiahnya. Aku butuh saran dari seseorang kado apa yang cocok untuk mamaku."

Prisoner Of Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang