"Sarapan apa hari ini istriku?" tanya Baskara dan dia mengagetkanku dengan tiba-tiba berdiri di belakangku.
"Oh my God, kenapa berdiri disitu," tegurku. Aku merasa risih dia memperhatikanku memasak seperti itu.
"Hanya ingin melihatmu memasak. Kamu tau nggak? Sekarang kamu benar-benar mirip dengan ibu-ibu beranak dua. Berbaju daster, pakai celemek, membawa sutil, dan bermuka masam," kata Baskara, aku tau dia ingin menggodaku. "Ayo kita menikah sekarang dan punya dua anak!"
"Sekali lagi kamu ngide macam-macam, aku tidak segan-segan buat menceburkan kamu ke wajan ini," kataku seraya menunjukkan wajan berisi minyak panas yang sedang kugunakan untuk menggoreng ikan.
"Ampun mak... ibu-ibu galaknya minta ampun," ucap Baskara mengejek dan dia menjauh.
Dengan geram aku mendekatinya dan berdiri tepat di depannya. "Don't speak whatever about married or you have to out of my room now," kataku tegas. Aku sudah muak dengan guyonannya tentang menikah. What the hell? Aku belum terpikirkan untuk menikah, apalagi dengannya. Selama ini aku telah bersabar dengan dia menginap di tempatku. Apa dia benar-benar tidak tahu apabila aku menerimanya di sini dengan terpaksa. Jika bukan karena insiden di Bali itu, mungkin aku tidak akan pernah mengacuhkannya lagi.
Lalu bagaimana dengan semalam? Bukankah sesuatu telah terjadi dan itu dengan kesadaranku sendiri. Jika boleh aku ingin melupakannya. Mengganggapnya dia tidak pernah ada di dunia ini dan segalanya tidak pernah terjadi, sepertinya lebih baik untuk kesehatan mentalku. Baiklah aku akan mengacuhkannya lebih dan lebih lagi.
"Bhiy, kenapa bengong? Ikanmu mau gosong tuh," sahut Baskara mengingatkanku.
"Oh thanks."
Aku mengecek penggorengan dan benar, dua ekor ikan mas di wajan hampir menghitam. Aku segera mematikan kompor dan mengangkatnya sembari memandang sebal pada Baskara yang kini berdiri bertolak pinggang di sampingku. Dia mengikutiku kemana pun aku melangkah di dapur yang sempit ini, mengecek nasi, merebus sayur, menyeduh susu coklat serta menyiapkan sarapan untukku dan tentu saja untuknya. Semalas-malasnya aku melihat wajahnya, setidaknya aku tidak tega untuk membiarkannya kelaparan.
"Nasi pecel dan lauk ikan goreng. Mengapa aku tidak pernah terpikirkan kamu akan memasak sesuatu yang sangat tradisional seperti ini, sayang?" tanya Baskara, saat melihat aku menyajikan sarapan di meja makan.
Sebetulnya itu bukan meja makan. Hanya meja lipat kecil berukuran persegi yang memang aku fungsikan untuk makan dan bekerja. Kamar kos ini tidak terlalu buruk, setidaknya untuk ukuran indekos di Jakarta. Lengkap dengan fasilitas dapur kecil yang terpisah sekat dan kamar mandi di dalam kamar, serta ruang kamarnya yang cukup luas sekitar 6x3 m2. Bahkan aku memiliki kulkas dan mesin cuciku sendiri, serta beberapa peralatan memasak lainnya yang cukup lengkap. Oleh karena itu, para tetangga kosku sering sekali meminjam peralatan masak dariku atau paling tidak sekedar meminta sedikit bumbu masak.
"Ya sudah dimakan saja," jawabku dengan sinis. "Pokoknya sehabis ini, kamu harus pulang."
"Pulang ke mana?" tanya Baskara dengan wajah yang dibuatnya polos.
"Ke rumah, ke kosmu, di mana pun tempat tinggalmu."
"Padahal aku berencana untuk pindah ke sini," kata Baskara dan aku tidak memperdulikannya.
"Kosmu sangat nyaman, rapi, dan bahkan kamu sungguh mirip dengan ibu-ibu beranak dua. Mana mungkin seorang single punya oven, microwave, mixer, sampai panci soblok. Kamu mau ngekos apa buka katering Bhiy?" tanya Baskara dengan nada mengejek.
"Sudah tepat aku memilih calon istri. Cantik, kamarnya rapi, dan yang terpenting pintar memasak. Hanya saja sayang mukanya jutek gitu," ujar Baskara memperhatikan wajah jutekku dengan mendelik. Aku sudah tidak tahan lagi dengan perkataannya sampai-sampai aku memukulnya dengan sapu lidi yang kugunakan untuk membersihkan kasur.
"Ah... sakit sayang," erangnya. Aku tau itu Cuma dibuat-buat.
"Tinggal makan saja repot banget nih orang. Bikin kesal saja," bentakku.
"Kalau gitu ambilkan aku nasinya," pinta Baskara menyerahkan piringnya padaku. Dengan bodohnya aku menerimanya dan segera beranjak ke tempat nasi untuk memberikan miliknya.
"Makasih sayang."
Usai itu, kami hanya saling diam. Baskara tidak lagi berceletuk tentang macam-macam hal dan hanya berkonsentrasi dengan makanannya. Suara sendok yang beradu dengan piring mengisi ketenangan suasana sarapan pagi itu. Segelas susu coklat menutup sarapan pagi dan aku bangkit untuk membereskan peralatan makan.
"Biar aku saja yang cuci piring," sahut Baskara ketika aku mulai menumpuk piring-piring kotor.
"Nggak perlu," jawabku masih dengan nada sinis.
"Anggap saja sebagai permintaan maafku karena sudah membuat kamu marah tadi pagi."
"Tidak usah tidak perlu," tolakku. "Kalau kamu benar-benar merasa bersalah, mending kamu pulang sekarang. Aku nggak mau lihat kamu lagi," ucapku tegas padanya. Aku segera beralih ke wastafel untuk mencuci piring. Sedangkan dia tetap saja duduk diam di tempatnya.
Sebelum aku selesai mencuci piring, dia berdiri dan mendekatiku. Tiba-tiba saja dia memelukku dari belakang dan mendekapku. Namun, aku berusaha untuk melepaskan pelukannya. Hanya saja dia terlalu kuat mendekapku, hingga aku menyerah melakukannya.
"Kenapa?" tanyaku.
"Nggak, Cuma pengen kamu kasih maaf ke aku saja. Maafkan aku sayang," kata Baskara manja, tetapi aku sama sekali tidak menggubrisnya. Daripada hanya aku diam dengan memendam perasaan dongkol, aku kembali melanjutkan aktivitasku dan membiarkan dia mendekapku hingga aku selesai.
"Kalau kamu lepasin aku bagaimana?" tanyaku dan dia segera melepaskanku. Tanpa memperdulikannya aku mulai menata alat masak dan makan ke tempat semula. Dengan sigap melipat selimut dan merapikan ranjang.
"Aku harus bantu apa nih?" tanya Baskara dan aku hanya mendiamkannya. "Biar kamu tidak marah lagi."
"Tidak perlu. Kamu duduk saja di sana udah cukup kok," perintahku sembari menunjuk ranjang yang telah aku rapikan. Dengan seketika dia duduk bersila di ranjang itu dan aku kembali pada aktivitas bersih-bersihku. Kupikir dengan mendiamkan dan tidak mengacuhkannya membuat dia mundur dan pulang, tetapi aku salah. Hingga satu jam kemudian, saat aku telah selesai beberes kamar dan membersihkan kamar mandi, dia masih saja duduk tenang di ranjang, main game.
"Kamu beneran tidak mau pulang?"
"Tidak. Aku tidak akan pergi sampai kamu memaafkanku," kata Baskara.
"Ya sudah," sahutku dan aku beranjak untuk mandi.
30 menit kemudian.
"Kamu mau kemana Bhiy?" tanya Baskara ketika melihatku berdandan rapi.
"Aku ada meeting di kantor."
"Di tanggal merah seperti ini?" tanya Baskara lagi tidak percaya. Hari ini memang tanggal merah untuk kalender nasional, tapi tidak dengan kalenderku. "Dengan siapa?"
"Dengan timku di kantor dan pihak pengembang, ada juga dari konsultan hukum," terangku.
"Sama si Ical itu?" tanya Baskara dan aku terkejut. Bagaimana dia bisa kenal dengan Bang Ical?
"Iya, memangnya kenapa?" tanyaku dan aku melihat ada raut geram di wajahnya.
"Nggak apa-apa. Aku antar kamu ya?" tawar Baskara.
"Tidak usah. Aku sudah biasa jalan sendiri," jawabku menolak. Tidak mungkin aku mau diantar olehnya, jika tidak ingin fitnah menyebar tentang kami. Sebagai manusia normal, aku juga tidak suka jadi bahan pergunjingan orang. "Aku sudah mau berangkat. Ayo keluar sekarang!" perintahku pada Baskara untuk meninggalkan kamar kosku.
"Tidak. Aku tidak ingin pulang," kata Baskara keras kepala. "Aku mau di sini saja, menunggu kamu pulang. Aku ingin makan masakan kamu lagi."
Tanpa banyak basa-basi aku mendekati pintu dan meninjunya dengan genggaman tanganku. Aku benar-benar geram dan tidak habis pikir dengan tingkahnya yang menyusahkanku. Apa dia sama sekali tidak berpikir kalau hal yang seperti ini hanya akan membuat aku semakin ilfeel dengannya.
"Abhiya istriku, hati-hati di jalan!" seru Baskara dan aku mengacuhkannya. Aku menutup pintu dengan membantingnya sekeras mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prisoner Of Your Heart
Roman d'amourDi suatu pagi, Abhiya terbangun dengan menemukan sesosok lelaki yang tertidur pulas di sampingnya. Sebuah pengalaman malam pertama yang benar-benar tidak diinginkannya. Membuat seseorang yang biasa saja dari masa lalunya hadir untuk menawan hati Abh...