"Yang habis makan siang sama Ical," ucap seseorang ketika aku baru saja membuka pintu kamarku yang tidak terkunci. Baskara muncul dari dalam dan bertelekan pinggang di depanku.
Aku malas menanggapinya. Tapi bagaimana dia tahu jika aku makan siang dengan Bang Ical? Hal yang membuatku penasaran terhadapnya.
"Cuma makan siang biasa saja," sahutku sewot. "Tapi dari mana bisa tahu? Kamu menguntitku?"
"Tidak, aku sibuk bekerja, untuk apa repot-repot menguntitmu," jawab Baskara dan tidak terdengar sesuatu yang aneh dari jawabannya.
"Lalu dari mana kamu bisa tahu?" tanyaku dan dia hanya menjawab dengan senyum penuh kemenangan.
"Pokoknya aku tidak mau tahu, weekend ini kita harus pergi," kata Baskara memerintah.
"Iya iya aku tahu kok. Aku juga tidak ingin membuatmu kembali ke kamar ini dalam keadaan mabuk," ucapku sinis.
"Begitu dong, sekali-kali pintar, istriku," kata Baskara sembari tersenyum dan mengacak-acak rambutku. Melihat senyum yang mengembang di wajahnya dan lembut tangannya membelai rambutku, membuat hatiku menjadi tak karuan.
Berhentilah berdebar hati, tidak sepantasnya kamu berdebar untuk orang seperti Baskara. Pikiranku memperingatkanku untuk tetap sadar dan fokus pada tujuan.
"Tapi aku sedang tidak ingin pergi ke pantai. Bagaimana jika kita pergi ke dataran tinggi?" ajakku. Jakarta yang panas dan pengap, membuatku merindukan udara sejuk dan lapang di pegunungan.
"Boleh jika kamu ingin menikmati suasana pegunungan," ucap Baskara menyetujuinya. Ah aku jadi tidak sabar merasakan sejuknya pegunungan. Dulu ketika masih tinggal di Semarang, pegunungan bukanlah hal yang langka dan mahal. Tidak sampai satu jam perjalanan, aku telah bisa menikmati udara sejuk dan pemandangan indah pegunungan. Sangat jauh berbeda dengan Jakarta yang aku tempati saat ini.
"Kira-kira aku harus membuat bekal apa untuk perjalanan kita Bas?" tanyaku.
"Apa saja sayang, aku akan memakannya."
***
Sabtu pagi saat bangun tidur, Baskara sudah tidak berada di sampingku. Aku terkejut dan sedikit panik. Bukankah kami berjanji untuk pergi membaca buku bersama. Dengan segera aku mencari ponselku dan mengiriminya pesan.
[Bas, kamu di mana?]
Tidak berselang lama, balasan telah muncul.
[Aku sedang keluar sebentar, bersiap-siaplah]
Ah... aku bernafas lega. Kupikir dia hanya ingin mempermainkanku soal pergi bersama ini. Usai menggeliat beberapa menit di atas kasur, aku segera bangkit untuk mencuci muka, menyiapkan bekal untuk kami bawa dan mengepak barang-barang yang akan aku gunakan selama di sana. Karena kami akan menginap, jadi aku harus membawa baju ganti dan peralatan mandi.
"Abhiya sudah siap?" tanya Baskara yang tiba-tiba muncul dari luar mengangetkanku. Ini sudah pukul 9 pagi, 2 jam sejak aku terbangun.
"Dari mana saja? Bikin panik orang tau?" protesku. "Tinggal mengemas bekal saja,"
"Kalau begitu tunggu sebentar, biar aku mandi dulu dan kita segera berangkat," katanya dan aku kembali pada kesibukanku menata bekal pada kotak-kotak makan yang telah aku siapkan.
"Kamu tadi pergi sewa mobil dari rental dulu?" tanyaku, ketika dia menunjukkan kendaraan yang akan kami tumpangi untuk liburan ini. Baskara membuka bagasi dan memasukkan tas bajuku serta kotak bekal ke dalamnya.
"Ih, ngejek. Ini mobilku ya," jawab Baskara.
"Ya mana aku tahu. Habis aku tidak pernah melihat kamu membawa mobil ini," kataku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Prisoner Of Your Heart
RomanceDi suatu pagi, Abhiya terbangun dengan menemukan sesosok lelaki yang tertidur pulas di sampingnya. Sebuah pengalaman malam pertama yang benar-benar tidak diinginkannya. Membuat seseorang yang biasa saja dari masa lalunya hadir untuk menawan hati Abh...