Bagian 31

109 8 0
                                    

Makan malam hari itu selesai cukup larut. Pukul setengah 12 malam, mobil Bang Ical baru saja sampai di halaman indekosku. Akupun sudah cukup mengantuk saat kami tiba dan ingin bergegas membaringkan tubuh di ranjang. Ketika aku memegang engsel pintu mobil hendak turun, Bang Ical menahan tanganku.

"Abhiya, aku ingin berbicara sebentar denganmu," kata Bang Ical dan aku menahan keinginanku untuk segera turun.

"Ada apa Bang?" tanyaku dengan pelan.

"Seperti yang kamu dengar di obrolan makan malam tadi. Aku ingin bilang kalau sebenarnya aku punya perasaan istimewa padamu," ucap Bang Ical. "Jadi aku ingin tahu bagaimana perasaanmu padaku? Apakah aku diterima?"

Seperti yang aku duga saat pembicaraan itu terjadi di ruang makan. Bang Ical memang memiliki perasaan khusus kepadaku. Namun saat ini, aku tidak ingin gegabah dalam memberikan jawaban. Aku memang memiliki perasaan khusus juga pada dia. Tetapi aku masih ingin memperjelas dalam hatiku sendiri bagaimana perasaan itu. Toh, aku juga belum siap untuk membina hubungan. Meskipun telah lewat berbulan-bulan, Baskara meninggalkanku, belum ada keinginan bagiku untuk menjalin keseriusan dengan pria manapun.

Aku belum menjawab sepatah katapun ucapan Bang Ical. Aku masih diam membisu. Sementara itu, Bang Ical menggenggam telapak tanganku dengan sangat erat. Berharap jawabanku akan iya, mungkin.

"Jujur, aku sudah lama memendam perasaan ini. Tetapi aku belum punya waktu yang tepat untuk mengungkapkannya," tambah Bang Ical. "Aku pikir aku tidak akan punya lagi kesempatan bersamamu karena kamu terlihat dekat dengan Baskara. Saat aku tahu apa yang terjadi pada kalian, aku memberanikan diri lagi untuk mendekatimu."

"Kamu merasa sendiri kan? Kita sudah sangat dekat bahkan kita bertemu setiap hari. Kamu juga sudah mengenal orang tuaku dan mereka setuju dengan hubungan kita. Kalau kamu tahu Abhiya, kamu satu-satunya perempuan yang pernah aku bawa pulang dan kukenalkan dengan orang tuaku."

Aku masih saja diam membisu. Hanyut dalam lamunanku dan pikiran-pikiranku sendiri.

"Jadi bagaimana Bhiy?" tanya Bang Ical sekali lagi dan benakku mulai kembali ke hadapannya.

"Em... apa Bang?" tanyaku dengan gugup.

"Bagaimana jawabanmu tentang perasaanku tadi?" Bang Ical mengulangi pertanyaannya.

Aku melepaskan genggaman Bang Ical dengan perlahan, lalu duduk tegap memandang ke depan. Aku menghela nafas sebentar sembari menyusun kalimat yang tepat untuk kusampaikan pada Bang Ical. Setelah siap aku menyampaikan apa yang muncul dalam hatiku perlahan.

"Aku minta maaf pada Bang Ical. Saat ini aku belum bisa memberikan jawaban apapun kepadamu. Beri aku waktu untuk berpikir dan menata hatiku," ucapku lirih. "Sekali lagi aku minta maaf kepadamu."

"Jadi kapan kamu akan menjawabnya?"

"Aku butuh beberapa hari, beri aku waktu," ucapku lagi.

"Minggu depan saat fitting baju aku akan menjemputmu. Aku menunggu jawabanmu saat itu," kata Bang Ical dan aku mengangguk.

"Aku pamit dulu Bang," katakku. "Bang Ical hati-hati di jalan."

"Selamat malam Abhiya, jangan lupa langsung beristirahat," balas Bang Ical.

"Bang Ical juga jangan lupa langsung beristirahat," ucapku lagi. Kemudian aku turun dari mobil dan melambaikan tangan padanya sampai Bang Ical pergi meninggalkan halaman kosku.

***

"Ibu," suaraku agak tergugu saat Ibu menjawab panggilan telepon dariku.

"Iya Bhiy, ada apa menelpon ibu malam-malam. Kamu belum tidur?" suara ibu terdengar bersamaan dengan bunyi ibu tengah menguap. Mungkin ibu baru saja terbangun karena mendapatkan panggilan dariku.

"Belum ibu, aku lagi kangen aja sama ibu," kataku. Dalam kondisi yang serba bingung seperti ini aku selalu merindukan ibuku.

"Ibu juga kangen kamu, nak. Kapan kamu pulang?" tanya Ibu.

"Aku juga kangen ibu," ucapku. "Ibu aku jadi ingin pulang."

"Akhir pekan depan aku akan mengambil cuti," kataku secara tiba-tiba. Saat ini rasanya aku ingin benar-benar pulang.

"Kamu pulang naik apa nak?" tanya Ibu.

"Naik kereta sepulang kerja bu, aku akan sampai di sana sekitar pukul 1 pagi."

"Iya, besok biar dijemput ayah," ucap Ibu yang diiringi dengan celetukan di belakangnya.

"Siapa bu?" aku langsung bisa menebaknya itu adalah suara Abhishek yang bertambah berat.

"Abhiya mau pulang," jawab Ibu kemudian beliau menjauhkan ponselnya dan menjelaskan sesuatu pada Abhishek.

"Kakak kau harus membelikanku sesuatu," sahut Abhishek pada ponsel ibu. "Nanti biar aku yang akan menjemputmu."

"Tidak, jangan keluyuran malam-malam," kata Ibu memarahi Abhishek.

"Abhiy sudah larut ibu tutup telfonnya. Segera tidur ya nak, besok kamu harus bangun pagi untuk bekerja," kata ibu lagi mengakhiri sambungannya setelah aku mengucapkan selamat tidur kepadanya.

***

Aku memasuki butik yang terletak tidak jauh dari lokasi kantorku ditemani dengan Bang Ical yang menjemputku. Di dalam sudah berkumpul Tante Arimbi, Kak Aruna, dan Mike yang telah datang satu jam lebih awal dariku. Mereka tengah mendengarkan presentasi dari desainer butik itu yang menawarkan berbagai macam pilihan gaun.

Lebih dari tiga jam aku membantu Tante Arimbi dan Kak Aruna untuk memilih gaun mana yang cocok dipakainya. Setelah menemukan gaun dan setelan yang tepat untuk mempelai pengantin, aku dan Kak Aruna memilih model baju yang akan digunakan oleh para bridesmaid dan pihak keluarga. Kami semua baru selesai pukul 11.00 malam.

"Mama dan kakak, aku akan mengantarkan Abhiya pulang dulu," pamit Bang Ical pada Tante Arimbi, Kak Aruna, dan Mike. Merekapun mengijinkan kami untuk pergi terlebih dahulu. Tanpa banyak kata, mobil Bang Ical melaju menyusuri jalan menuju kosku. Namun, di tengah jalan dia memarkirkan mobilnya di tepi sebuah taman yang tidak jauh dari kompleks perumahan tempat indekosku berada.

"Abhiya, Ayo kita turun dan bicara," kata Bang Ical, lalu kami turun dari mobil dan duduk di bangku taman terdekat.

"Jadi bagaimana jawabanmu Bhiy?" tanya Bang Ical. Aku tahu dia akan menagih jawaban dariku dan akupun telah menyiapkan jawaban yang menurutku tepat untuk diriku saat ini, begitu juga dengan Bang Ical.

"Bang, bagaimana jika kita tetap seperti ini dulu," ucapku memulai. "Jujur aku telah memikirkannya dan aku belum dapat memberikan sepatah katapun padamu untuk menjawab padamu bahwa itu iya atau tidak. Aku masih belum merasa yakin untuk berkata iya dan aku juga tidak bisa membohongi diriku sendiri untuk berkata tidak. Mungkin aku masih membutuhkan waktu untuk sendiri dan memikirkan hal ini lebih lama."

Bang Ical masih mendengarku dengan seksama tanpa sedikitpun menyela. Dia menatapku tajam namun penuh kehangatan. Dia masih menungguku untuk menyelesaikan bicaraku.

"Aku mau pulang ke Semarang besok Jum'at, tidak lama hanya sepekan," ucapku menambahkan. "Aku berharap aku bisa mendapatkan sesuatu di sana, yang mungkin bisa sedikit banyak mengubah pikiranku." 

Prisoner Of Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang