Aku sampai di depan gerbang indekos dengan aman. Tetapi aku lupa, untuk membawa tas berisi ponsel dan dompet yang masih tertinggal di mobil Bang Ical, sehingga aku harus naik ke kamarku terlebih dahulu untuk mengambil uang. Dengan segera, aku membayar taksiku dan merebahkan tubuhku pada kasur tercinta.
Rupanya aku tidak juga dapat segera terlelap seperti yang aku bayangkan ketika berada di dalam taksi. Saat aku sedang mencoba menutup mata, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarku. Dengan lunglai, aku berjalan ke depan dan membukanya. Di depanku, di bawah penerangan lampu teras yang temaram. Aku melihat seorang pria yang lebih tinggi 15 cm dariku, bertubuh agak berisi, dan selalu mencukur habis rambutnya seperti seorang perwira. Namun kali ini, tidak seperti biasanya, dia mencukur kumis dan janggutnya dengan rapi. Aku mengenalnya dan dengan seketika aku menghambur memeluknya.
Aku menangis tersedu-sedu pada dada bidangnya. Dia ganti memelukku dan mengusap-usap punggungku menenangkanku. Entah mengapa, aku merasa aman untuk menangis deras di pelukannya dan tidak lagi ketakutan. Saat dia merasa aku sudah cukup tenang dari tangisku yang begitu deras, dia menuntunku masuk ke dalam kamar dengan posisi masih memelukku erat. Dia menutup pintu kamarku dan membaringkanku di atas ranjang. Sesungguhnya aku malu, dia melihatku seperti ini, dengan gaun compang-camping yang robek beberapa bagian karena pertengkaran di mobil tadi dan wajah serta rambut kusut tidak beraturan. Tetapi dia malah menyiapkan bantal untukku berbaring, kemudian menarikkan selimut untukku. Berbisik pada telingaku, meminta untuk tidak perlu khawatir malam ini.
***
Saat aku terbangun pada pukul delapan pagi esok harinya, aku menemukan Baskara tidur di atas karpet yang selalu kugelar di depan TV. Dia belum bangun dan sepertinya tertidur pulas juga semalam. Aku mencoba untuk bangkit dari tidurku dan menemukan badanku sakit semua seperti dipukul-pukul. Aku juga menyadari bahwa gaun yang kupakai hampir compang-camping karena insiden semalam. Dengan bergegas aku menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, serta mengganti bajuku.
Tiba-tiba aku merasa perutku melilit. Aku ingat, semalam aku harus diinfus dan makan bubur di rumah sakit karena aku melewatkan jam makan siang. Dengan segera, aku mengambil obatku dan menyarap dengan beberapa potong roti yang kusimpan di almari makanan. Saat aku melahap makananku, aku melihat Baskara terbangun dari tidurnya.
"Abhiy, kamu sudah bangun?" tanya Baskara yang menemukanku sedang berdiri di depan kulkas sembari mengunyah roti. "Bagaimana keadaanmu?"
Aku menyelesaikan makanku terlebih dahulu baru menjawab. "Aku baik sekarang," ucapku lirih. Diapun segera bangkit dan berdiri di sampingku sembari tersenyum.
"Syukurlah, aku takut kamu kenapa-kenapa," ucap Baskara. Pada saat itu, aku menemukan sesuatu yang aneh pada wajahnya. Lebam di pipi kanan dan kiri yang kulewatkan semalam.
Apa karena malam jadi tidak kentara? Atau aku memang terlalu fokus dengan diriku sendiri. Batinku.
"Ini apa Bas, di pipi kanan dan kirimu?" tanyaku.
"Oh ini bukan apa-apa, hanya sedikit pemanasan," ujar Baskara. Tentu aku tidak dapat mempercayainya. Aku masih saja menuntutnya untuk berkata jujur.
"Semalam aku menghajar Ical lagi," ucap Baskara ketika kami sudah berpindah duduk berhadapan di depan TV.
"APA..." teriakku kaget.
"Bahkan tubuhku rasanya masih sakit semua," ucap Baskara lagi, lalu dia membuka kaosnya dan terlihat beberapa lebam muncul di beberapa bagian tubuhnya.
"Baskara..." ujarku dan aku segera berinisiatif untuk mengambil kompres dingin untuk mengobati luka memarnya.
"Mengapa sih lelaki selalu menyelesaikan masalah dengan adu pukul?" tanyaku dengan kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prisoner Of Your Heart
RomanceDi suatu pagi, Abhiya terbangun dengan menemukan sesosok lelaki yang tertidur pulas di sampingnya. Sebuah pengalaman malam pertama yang benar-benar tidak diinginkannya. Membuat seseorang yang biasa saja dari masa lalunya hadir untuk menawan hati Abh...