Bagian 15

294 13 0
                                        


"Kamu marah gara-gara aku menolak tawaranmu untuk mengantar aku pulang?" tanyaku dengan terbahak. Raut wajahnya cemberut dan rasanya Baskara ingin menelanku bulat-bulat.

"Ya, tidak adil saja. Waktu itu kamu melarang aku mengantar pulang ya meskipun naik motor, tapi kamu sekarang sering diantar dia. Apa karena dia naik mobil?" ucap Baskara dengan gelagat cemburu. Dia memang tidak bisa menyembunyikan ketidaksukaannya pada orang lain.

"Bukan masalah naik mobil atau naik motor. Aku bukan cewek matre kali. Hanya saja, waktu itu lagi hujan Baskara dan rumahku juga cukup jauh dari kampus. Aku juga tidak mau kamu kenapa-kenapa di jalan, kehujanan lagi," terangku.

"Kamu khawatir sama aku? Padahal aku cowok dan kamu cewek. Tubuhku lebih kuat dari pada kamu Bhiy. Buktinya meskipun kamu dijemput ayah, kamu juga masih bisa pilek dan absen ke kampus kan?" tutur Baskara mengingatkanku pada hari itu lagi. Hujan yang tidak kunjung reda sedari siang hingga tengah malam cukup membuatku kebasahan saat pulang. Walaupun mantel ayah lumayan melindungiku, tetap saja itu tidak membuatku benar-benar aman dari air hujan yang membuatku meriang keesokan harinya. Aku tau Baskara sangat kecewa, karena esoknya dia gagal mengajakku pergi membaca di Markas Diksi.

"Aku tahu kamu tidak enakan sama orang Bhiy, juga tidak mau merepotkan orang lain. Tapi please jangan gitu sama aku Bhiy. Repotin aku, minta aku buat melakukan apa saja buat kamu akan aku lakukan."

"Nggak perlu sampai segitunya Bas," sanggahku.

"Tidak apa-apa sayang. Aku lihat kok pas kamu cium tangan ayahmu waktu itu. Aku juga ingin mencium tangan ayahmu Bhiy," kata Baskara. "Suatu hari nanti, aku juga ingin bilang ke ayahmu. Pak, anak bapak biar saya saja yang menjaganya. Saya pasti tanggung jawab sepenuhnya dan tidak akan mengecewakan bapak."

Seharusnya aku merinding karena terharu mendengarnya. Namun, aku malah tertawa terbahak-bahak.

"Lucu banget ya, sampai seperti itu kamu tertawa?" tanya Baskara padaku yang masih terpingkal-pingkal.

Aku mengangguk dan mencoba menjawabnya di sela tawaku. "Iya lucu banget eskpresinya. Aku tidak menyangka kamu bisa se-ekspresif itu."

"Aku suka banget kalau kamu tertawa," ucap Baskara dengan senyum tulus. "Aku ingin melihat tawa istriku seumur hidupku."

"Memangnya kenapa?"

"Bisa lepas banget gitu, seperti nggak ada beban," kata Baskara lalu aku diam. Aku tahu dia menyindirku karena tawaku yang berlebihan. "Ingat nggak kapan terakhir kita tertawa seperti ini?"

"Ingat," jawabku. Aku masih sangat jelas mengingatnya. "Waktu kita latihan menulis di Markas Diksi."

Baskara mengangguk dan kenangan kami membayang ke Markas Diksi pada masa itu. Sebuah tempat bekas gudang yang hampir rubuh dan dipugar kembali menjadi bangunan semi permanen. Satu ruangan luas yang penuh dengan rak-rak buku dan meja kursi untuk membaca dan berbincang. Di satu sudutnya, meja bartender dan rak-rak snack berjejer rapi. Markas Diksi selalu ramai, terutama oleh para aktivis kampus dan mahasiswa yang suka membaca.

"Ini Mas Bams, yang punya tempat ini." Baskara mengenalkanku pada pemilik Markas Diksi. Alumni kampus kita juga dan masih sering terlibat aktif dalam diskusi dikalangan mahasiswa. Aku pun menjabat tangannya dan memperkenalkan diriku.

"Abhiya."

"Wajahnya tidak familiar sama sekali. Sepertinya mbak belum pernah berkunjung kemari?" tanya Mas Bams dan aku menggeleng.

"Jadi masih pertama kali?" tanya Baskara, lalu aku mengangguk.

"Anak kampus sini kan?" tanya Mas Bams.

Prisoner Of Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang