Bagian 2

996 31 1
                                    

Aku mengenalnya, laki-laki yang kutemukan tidur di sampingku pagi ini. Aku memanggilnya Baskara. Nama lengkapnya aku tidak pernah tau dan tidak terpikirkan untuk bertanya. Oh ya, semalam kami memang sempat bertemu saat Gala Dinner dan sedikit berbasa-basi seperti,

"Lho Abhiya, kamu ada di sini?" tanya Baskara seolah terkejut. Sebelum sapaan itu muncul dari mulutnya dia mengetuk pundakku dengan cukup keras yang membuatku spontan menoleh. Dia pasti sengaja melakukannya untuk memastikan apakah itu benar aku atau orang lain.

Aku tersenyum padanya, selayaknya kenalan yang lama tidak berjumpa. "Baskara, kamu ada di sini juga?"

Baskara tertawa sebentar, lalu menunjukkan padaku id card berlatar putih biru yang terkalung di lehernya. Tertulis jurnalis dan logo sebuah media cetak besar di sana.

"Wah selamat ya, yang sudah jadi wartawan media besar," kataku ikut senang. Setidaknya itu adalah suatu cita-cita yang pernah dia katakan padaku dulu.

"Baru kok, baru juga jalan dua tahun. Masih kontrak juga," kata Baskara sembari tersenyum senang. Wajahnya memang tidak membohongi jika dia sangat bangga atas pencapaiannya ini.

"Jadi kamu udah lulus?" tanyaku sedikit mengejek. Dulu kami sering saling mengolok karena perbedaan prinsip dalam menghadapi studi di perguruan tinggi.

"Tepat 14 semester," jawab Baskara.

"Selamat sudah lulus," ucapku menyelamati Baskara dan kami bersalaman.

"Kamu sekarang kerja di mana?"

"Di Jakarta," jawabku dan aku menyebutkan perusahaan tempatku bekerja. "Aku jadi konsultan lingkungan, nggak jauh-jauh sih dari jurusanku dulu." Aku memang lulus dari Jurusan Ilmu Lingkungan.

"Abhiya masih sering menulis?"

"Sudah jarang, paling setahun sekali atau dua kali, itu pun aku unggah di blog," kataku. "Ternyata profesi penulis kurang begitu cocok untukku, makanya aku memutuskan untuk kerja di perusahaan juga. Ya sedikit banyak masih menulis lah, hitung-hitung menyalurkan hobi."

"Baguslah," kata Baskara. "Setidaknya masih menulis."

"Bhiya," panggil seorang perempuan yang berdiri tidak jauh dari tempatku. Dia menenteng piring berisi salad dan ayam goreng di tangan kanannya serta segelas air putih di tangan kirinya. Miss Kinan memang sangat ketat terhadap berat badannya, yang membuatku dan beberapa rekan kerja lain sering menggodanya.

Ketika aku menoleh padanya. Miss Kinan memberikan kode padaku untuk bergabung dengannya dan teman-teman lain jika telah selesai mengambil kudapanku. Dia menunjukkan meja yang berisi orang-orang dari perusahaan kami.

"Eh, sambung lain kali ya Baskara. Aku dicariin teman-teman kerjaku," kataku. Lalu aku segera meninggalkan Baskara yang masih menatap kepergianku.

"Siapa Bhiy?" tanya Pak Satya, ketua tim kami, ketika aku mendekati salah satu kursi kosong yang mengelilingi meja bundar itu. Aku sibuk sekali meletakkan piring berisi kudapan dan segelas jus jambu. Belum lagi tas wanita hitamku yang kuletakkan di sandaran kursi.

"Oh itu, Baskara. Dia wartawan, teman kuliah pak," jawabku sebelum mulai makan. Aku mulai berdoa sebelum makan dan mengunyah. Nikmat sekali rasanya menyendok nasi, lauk pauk, serta sambal usai seharian berkutat dengan rapat dan rapat.

"Bhiy, dia masih ngelihatin kamu tuh," kata Mbak Puji, karyawan yang juga seniorku. Aku tidak menggubrisnya dan masih berkutat dengan makananku.

"Kayaknya dia suka deh sama elo mbak," sahut Ihsan. Si paling bontot di antara kami ikut-ikut memanasi keadaan. Karena penasaran, aku menoleh padanya dan tiba-tiba dia mengalihkan perhatian dengan mengajak teman di sampingnya mengobrol, seolah menyadari aku memperhatikannya juga.

Prisoner Of Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang