Bagian 33

105 8 0
                                    


Aku pulang kerja tepat waktu dan seketika menemukan mobil Bang Ical terparkir di tempat parkit gedung yang ditempati kantorku.

"Bang Ical sudah lama menungguku?" tanyaku, saat aku sudah berada tepat di depannya.

"Tidak Abhiy, aku baru saja sampai," kata Bang Ical. "Ayo kita pergi sekarang?"

Kami bergegas masuk ke dalam mobil dan melintasi padatnya jalanan Jakarta di saat-saat jam pulang kerja seperti ini.

"Kita mau pergi kemana Bang?" tanyaku di sela perjalanan kami.

Bang Ical tidak langsung menjawab. Dia terdiam sejenak sembari berpikir. Lalu menoleh kepadaku, "Rahasia," ucapnya dengan tersenyum.

"Kenapa harus main rahasia-rahasiaan?" tanyaku. Aku menjadi semakin penasaran.

"Pokoknya kamu pasti suka," ucapnya lagi penuh kemenangan. "Aku harap kamu bakal suka."

Kami sampai di pelataran sebuah rumah mewah yang ada di pinggiran Jabodetabek. Untuk menuju kesana, kami membutuhkan waktu sekitar 2 jam perjalanan dan melewati beberapa jalan berbukit-bukit hingga kami memasuki pintu gerbang sebuah perumahan elite dan sampailah di rumah ini. Sesampainya di sana, terlihat sebuah mobil sedan hitam terpakir di halamannya dan Bang Ical mengambil posisi parkir tepat di sebelahnya.

"Rumah siapa ini Bang, bagus sekali?" tanyaku penasaran. Meskipun rumah itu tidak lebih luas dari rumah keluarga Bang Ical dan tidak terlihat megah, namun dari kesederhanaan konsepnya bisa terlihat kemewahannya. Setelah beberapa menit kami menginjakkan kaki di halamannya, sembari melihat-lihat. Seorang lelaki sebaya Bang Ical keluar dari rumah itu.

"Halo Bro," sapanya pada Bang Ical.

"Hai..." Bang Ical menyapanya. Mereka bersalaman dan saling berpelukan. Lalu lelaki itu menoleh padaku, menyapaku dengan senyuman.

"Oh ya, sudah siap Bro, masuk saja," kata lelaki itu sembari memberikan kunci pada Bang Ical. "Ini kuncinya, gue pergi dulu," katanya lagi. Kemudian dia masuk ke dalam mobil sedan hitam yang terparkir sedari tadi dan pergi meninggalkan kami.

"Dia siapa bang?" tanyaku.

"Kenalanku, yang punya rumah ini," kata Bang Ical. "Ayo masuk, aku punya sesuatu untukmu," katanya lagi. Bang Icalpun mengandeng tangan kananku dan menuntunku masuk ke dalam rumah itu. Kami segera naik ke lantai dua dan berdiri sejenak di depan sebuah pintu ruangan yang berwarna putih. Perasaanku tidak sabar menunggu Bang Ical menunjukkannya padaku.

"Aku mau kamu menutup mata sekarang," pinta Bang Ical.

"Hah, kenapa harus menutup mata?"

"Ayolah, ini kan kejutan," kata Bang Ical. Dengan terpaksa aku mengangguk. Bang Ical segera mengeluarkan sebuah kain hitam panjang penutup mata dan dia memakaikannya untukku.

"Apa kamu bisa melihat jariku menunjukkan angka berapa di depanmu?" tanya Bang Ical. Aku menggeleng dan meraba depan wajahku. Menemukan jarinya menunjukkan angka dua dan meremas-remas jarinya.

"Dua," jawabku. "Mana aku tahu, mataku sedang ditutup. Gelap semua," protesku.

"Berarti sudah aman," ucap Bang Ical lirih. Kemudian dia menggandeng tangan kananku lagi dan membuka pintu itu. Menuntunku berjalan masuk dan memperingatkanku untuk berjalan dengan hati-hati agar tidak tersandung sesuatu. Setelah beberapa langkah kutempuh, Bang Ical melepaskan genggaman tanganku dan menyuruhku diam di tempat. Aku mendengar Bang Ical membuka pintu lain dengan cara menggesernya.

"Sekarang kamu boleh membuka penutup matanya," perintah Bang Ical dan aku bergegas membukanya. Butuh beberapa detik sampai aku bisa melihat dengan jelas apa yang ada di depanku. Aku terperanjak, pemandangan lampu kota yang sangat indah memerkan gemerlapnya di bawah sana. Rupanya rumah ini punya balkon terbaik dengan pertujukkan malam hari yang mengesankan. Aku segera beranjak dari tempatku dan menghampiri pagar balkon untuk melihat lebih dekat ke arah bawah.

Prisoner Of Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang