Bagian 17

173 11 0
                                    


Tok... tok... tok...

Terdengar suara pintu kamarku diketuk dengan sangat keras oleh seseorang. Aku menggeliat dengan malas dan meraba-raba kasurku mencari ponselku. Kulihat pada layarnya masih pukul 2 pagi. Siapa sih yang iseng ketuk pintu jam segini. Batinku kesal. Suara pintu diketuk masih saja kudengar dan semakin keras, membuatku benar-benar terbangun dari tidurku.

Tok... tok... tok...

"Yang di dalam buka dong. Ada orang tidak?" Suara di depan pintu berteriak cukup kencang.

Kuperhatikan baik-baik suara itu. Suara perempuan bukan laki-laki, bukan Baskara. Lagi pula siapa perempuan yang berkepentingan mengetuk pintu kamarku malam-malam. Apakah itu tetangga sebelah? Apa mungkin dia kelaparan malam-malam dan ingin meminta bumbu dapur padaku.

"Sebentar," sahutku. Aku meraih jaket untuk menutupi singlet yang kupakai tidur sebelum membuka pintu.

Di luar, seorang gadis dengan siluet yang berbeda dari yang kukenal dan dia sepertinya bukan penghuni kos ini. Gadis itu memakai kacamata dan berambut lurus sebahu. Gadis asing yang ternyata membawa seorang laki-laki, yang tidak aku sadari kehadirannya ketika membuka pintu.

"Oh jadi benar Abhiya," sahut suara seorang pria yang muncul di bawah temaram cahaya lampu teras, wajahnya cukup familiar bagiku. "Kupikir dia meracau tidak karuan."

"Ini benar orangnya?" tanya perempuan itu dan dijawab dengan anggukan si pria.

"Aku Jodi, kamu masih ingat kan?" tanya Jodi dan aku memutar ingatanku. Ah benar namanya Jodi, sahabat baiknya Baskara ketika di kampus.

"Aku ingat kok," jawabku singkat.

"Eh sebentar ya, pintunya jangan ditutup. Tunggu sebentar," pinta Jodi dan perempuan yang belum memperkenalkan diri itu segera mengacir pergi.

Karena aku penasaran. Aku menunggu mereka di depan pintu, hingga beberapa menit kemudian terlihat mereka berdua tengah membopong seorang pria berambut cepak. Baskara.

Wajahku terlihat amat terkejut ketika mengetahui mereka membawa Baskara yang tidak sadarkan diri. Hatiku dipenuhi perasaan yang campur aduk ketika melihatnya. Senang karena mengetahui dia muncul, sedih melihatnya dalam kondisi teler, terlebih jengkel karena harus melihatnya kembali.

"Maaf banget ya Bhiy, sebenarnya semalam dia tidur di kontrakanku. Tapi hari ini dia mabuk berat, ngamuk, dan memanggil-manggil namamu terus. Jadi terpaksa dia aku antar kemari," tutur Jodi. Tanpa meminta ijinku terlebih dahulu dia dan gadis itu langsung membopong Baskara masuk ke kamarku dan membaringkannya di tempat tidur. Baskara tidur dengan sangat lelap. Mereka tidak lupa meninggalkan tas kerja Baskara di kamarku.

"Titip Baskara Bhiy. Kalau dia rewel, dijitak kepalanya nggak apa kok," sahut Jodi disusul tawa gadis di sampingnya.

"Oh ya kenalkan Bhiy. Ini Agnes pacarku," kata Jodi melakukan sesuatu yang dilupakannya. Kami berdua berkenalan dan dengan segera mereka pamit meninggalkan Baskara yang mendengkur.

Aku segera mengunci pintu usai mereka berdua pergi. Kuhampiri tubuh Baskara, dia memindah posisi tidurnya dari berbaring menjadi miring kekiri dan berhenti mendengkur. Kupandangi wajahnya yang tenang dan hatiku teriris. Apakah dia seperti ini karena marah kepadaku kemarin? Apakah ini bentuk terlemah dari seorang Baskara yang suka mendominasi dirinya pada orang lain? Apakah ini sisi lain Baskara yang akhir-akhir ini membuat hidupku menjadi kacau balau?.

Aku tidak menemukan sedikitpun dari pertanyaan yang berhamburan dari batinku itu. Aku malah tertarik memegang telapak tangannya dan aku menggenggamnya. Sebuah telapak tangan yang selalu mengusap rambutku ketika aku menangis karena tingkah lakunya. Aku berbaring tepat di depannya dan memandangi wajahnya lebih dekat lagi. Aku kembali menutup mata dan tidak melepaskan genggaman tangan itu.

Esok harinya, aku bangun dengan posisi berbeda. Sebuah tangan mendekapku dengan erat dan dihadapanku terpampang sebuah dada telanjang. Rupanya Baskara bangun lebih awal dan dia menempatkan tubuhku yang masih tertidur dalam rangkulannya. Dia sendiri sibuk bermain ponsel tanpa menyadari bahwa aku terbangun. Aku mendongak dan melihat wajah bangun tidurnya, tidak lupa mencium bau alkohol yang sangat kuat dari tubuhnya.

"Abhiya sudah bangun?"

Aku menggeliat dan melepaskan diri dari rangkulannya. "Sekarang jam berapa?"

"Jam 8 pagi," jawab Baskara usai mengecek jam pada layar ponselnya.

"Siapa yang mengantarku kemari?"

"Jodi dan pacarnya," jawabku singkat. "Jadi kamu mabuk lagi semalam? Berapa banyak yang kamu minum sampai pingsan begini?"

"Kamu tahu kan seberapa sukanya aku padamu? Sampai-sampai aku bisa kemari meskipun dalam kondisi tidak sadar."

"Aku tanya berapa banyak yang kamu minum?" tanyaku dengan sewot. Aku tidak suka seseorang mengalihkan pembicaraanku.

"Aku tidak ingat Bhiy, satu dua botol mungkin. Sepertinya lebih," ucapnya tidak serius.

"Kenapa? Kamu nggak suka aku minum? Kalau kamu tidak suka, aku janji nggak akan minum lagi. Apalagi sampai harus dibawa pulang teler begitu."

"Iya. Aku tidak suka," jawabku dengan nada membentak. "Kamu tahu nggak sih, kalau alkohol yang kamu minum itu jadi sumber bencana selama ini. Kamu memperawaniku karena alkohol laknat itu dan sekarang kamu harus datang ke tempat tinggalku karena alkohol juga."

"Makanya kamu jangan bikin aku marah, apalagi sampai pergi makan malam dengan si Ical itu," ucap Baskara tidak kalah keras.

"Tidak ada hubungannya semua ini dengan Bang Ical."

"Ada Bhiy. Aku seperti ini karena harus mendengarmu jalan dengan dia," ujar Baskara ganti membentakku.

"Tidak ada. Kamu nggak ada hak untuk melarang aku pergi semalam," ucapku.

"Hak apa? Apakah mencintaimu dengan tulus, menjagamu setiap hari tidak cukup membuktikan semuanya Bhiy?" tanya Baskara dengan membara. "Kamu benar-benar tidak ingat semua yang aku lakukan untukmu bahkan pengorbanan untukmu? Kamu nggak tahu aku hampir tertabrak mobil karena menjemputmu malam itu?"

Aku tertunduk lesu dan memikirkan perkataannya. Dia pernah sangat berjasa padaku, menyelamatkanku di saat-saat genting. Jika saja tidak ada dia saat itu, aku sudah tidak bisa membayangkan bagaimana nasibku.

"Iya. Aku ingat dan kamu juga pernah mengatakannya," ujarku lirih.

"Kalau begitu, aku minta maaf sudah bikin kamu marah," ucapku dengan penuh penyesalan.

"Aku nggak akan marah lagi. Asal kamu janji weekend depan kamu harus ikut aku."

"Kemana?"

"Ayo baca buku bersama lagi di pantai!" ajak Baskara. "Dan ingat, aku tidak pernah suka kamu jalan dengan Ical apapun alasannya." 

Prisoner Of Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang