Bagian 32

95 8 0
                                    

Aku tiba kembali ke Jakarta pada Hari Minggu pagi. Tanpa diminta, Bang Ical sudah menungguku di pintu keluar Stasiun Gambir. Suasana jalanan begitu lenggang, karena ini minggu pagi yang diselimuti gerimis rintik-rintik. Udara begitu dingin menusuk tulang, sepertinya hujan memang belum reda dari semalam.

"Apa kabar ayah dan ibumu?" tanya Bang Ical membuka percakapan di perjalanan.

"Kabar mereka baik," jawabku. "Adikku juga baik. Sekarang jika kami berdiri bersama-sama, aku hanya sepundaknya. Dia bahkan lebih tinggi dari ayah."

"Kamu punya adik?" tanya Bang Ical setengah kaget. Ah, aku lupa. Aku belum pernah mengatakan padanya jika aku memiliki seorang adik laki-laki.

"Siapa nama adikmu?"

"Abhishek."

"Nama yang bagus, seperti nama orang India," celetuk Bang Ical. "Tapi bukankah namamu juga menyerupai nama orang India. Mungkin diambil dari Bahasa India atau Sansekerta?"

"Entahlah, aku juga tidak mengetahui alasan orang tuaku memberi nama seperti itu," jawabku. Aku sedang malas untuk menjelaskan panjang lebar sejarah penamaan Abhiya dan Abhishek. Kami kembali hening, menikmati suasana hujan yang bertambah deras di pagi hari.

"Ngomong-ngomong aku masih memiliki hutang kepada Bang Ical," kataku membuka percakapan kembali.

"Hutang apa?"

"Jawaban atas pertanyaanmu," kataku pelan. Seketika Bang Ical memelankan laju kendaraannya dan menungguku melanjutkan perkataanku dengan sabar.

"Jadi, jawabanku adalah iya, mari kita coba," ucapku tanpa keraguan. Aku sudah memikirkan matang-matang soal ini ketika berada di Semarang sepekan lalu. Keputusan ini adalah keputusan yang aku pilih dengan logis berdasarkan isi hati dan pemikiranku sendiri.

"Aku tidak tahu, apakah setelah resmi berpacaran hubungan kita akan bisa langgeng sampai akhir. Tapi aku yakin dengan jawabanku. Mari kita coba."

Bang Ical mengengam telapak tanganku erat dan dia menepikan mobilnya. "Aku senang kamu mau menerimaku, aku ingin mengenalmu lebih jauh Bhiy," kata Bang Ical.

"Aku juga ingin mengenal Bang Ical lebih jauh lagi."

***

Saat aku berada di Semarang, aku memanfaatkan waktu cuti itu untuk berbicara pada ibu. Aku menceritakan banyak hal tentang hari-hari yang aku lalui selama berada di Jakarta. Tentang pekerjaanku yang semakin aku sukai, teman-teman kerjaku yang menyenangkan, dan dua orang pria dewasa yang selama setahun ini hadir dalam hidupku.

"Yang satu teman Abhiya kuliah dan kalian seumuran?"

"Lebih tepatnya dia lebih tua satu tahun dari pada aku bu," jawabku.

"Satu lagi teman kerjamu yang lebih tua dua tahun darimu," kata Ibu. "Dari kedua itu mana yang lebih dekat denganmu?"

"Kedua-duanya sama dekat," kataku sembari mengunyah apel yang baru dikupas Ibu. "Hanya saja aku sudah tidak pernah bertemu dengan yang pertama. Sudah lama sejak beberapa bulan yang lalu."

"Mengapa?"

"Kami bertengkar," jawabku.

"Abhiy, tidak baik bertengkar dengan orang lain. Apa kamu sudah minta maaf?"

"Belum, sepertinya tidak akan pernah meminta maaf padanya," ucapku teringat kembali dengan kejadian terakhir antara aku dan Baskara. "Kadang aku menyenangi saat bersamanya, kadang aku juga tidak suka dia ada di sekitarku. Tapi kami dekat, sangat dekat."

"Apakah dia baik?"

"Dia baik bu, dia tulus dan peduli. Dia juga banyak memberikan dan mengajarkan hal-hal yang baru padaku. Sangat menyenangkan saat bersamanya, dia juga memiliki banyak teman yang seperti saudara," terangku pada Ibu tentang Baskara.

"Lalu bagaimana yang kedua?"

"Yang kedua juga baik, dia seperti seorang kakak laki-laki daripada sekedar teman. Dia begitu perhatian padaku dan datang dari keluarga terpandang. Aku bahkan sering diundang datang ke rumahnya. Aku juga mengenal orang tua serta keluarganya dengan baik."

"Semua yang kamu ceritakan baik-baiknya saja, bagaimana dengan kekurangan mereka?"

"Sebenarnya tiada yang kurang bu, mereka sama-sama baik, menyukaiku. Mereka juga memiliki pekerjaan yang baik, serta sama-sama unggul dengan segala kelebihan mereka. Hanya saja sepertinya pertemuanku dengan salah satu diantara mereka yang salah, tidak tepat. Sehingga membuat hatiku terasa begitu berat untuk menerimanya Bu. Namun, justru dia yang sangat mengenalku, memberiku sesuatu yang berbeda, yang aku butuhkan bukan yang aku mau."

"Sementara itu, aku begitu mengagumi orang lain. Sedari awal aku bertemu dan mengenalnya. Ada rasa aku begitu senang bisa dekat dengannya. Rasa ingin mengharapkan sesuatu yang lebih padanya. Namun, saat itu juga aku jadi merasa bimbang tentang siapa yang ada di hatiku. Apakah orang pertama atau orang kedua?"

"Kalau begitu kamu harus bisa mengetahui mana yang cintanya lebih besar kepadamu," saran ibu.

"Ku rasa dua-duanya sama-sama mencintaiku bu. Aku juga belum bisa membedakan mana yang lebih besar cintanya padaku," ucapku.

"Mana yang rasanya lebih tulus dan murni padamu?"

"Aku juga belum bisa mengetahuinya," jawabku.

"Menurutmu, mana yang lebih baik untukmu?"

"Aku belum bisa memutuskan mana yang lebih baik untukku bu," jawabku. "Sayangnya, semenjak pertengkaran itu. Sepertinya aku tidak mungkin lagi bertemu dengan yang pertama. Dia sudah menghilang lama, meskipun aku terkadang masih menunggunya datang."

"Dan sekarang, yang kedua mengajakku untuk serius Bu. Dia menyatakan perasaannya padaku beberapa hari yang lalu dan belum kujawab hingga sekarang. Aku masih ragu untuk memutuskan menerima pernyataan cintanya atau tidak, belum lagi orang tuanya sangat mengenalku dan sepertinya setuju jika kami bersama," ucapku galau. "Jadi bagaimana menurut Ibu?"

"Soal cinta kamu yang merasakan, soal mereka kamu yang mengenal, soal isi hatimu cuma kamu yang tau bagaimana," kata Ibu. "Hubungan itu yang menjalani kamu bukan ibu. Ibu tidak bisa memutuskan mana yang terbaik bagimu. Tuhanlah yang tau, Yang Maha Menciptakan segalanya. Ibu pikir kamu sudah tahu jawabannya, dirimu sendiri lah yang mengetahuinya."

Usai mendengarkan penuturan ibu, aku bersandar pada bahunya. Lalu beliau menelukku. Aku jadi manja sekali, seperti saat berumur 4 tahun mungkin. Bertemu dengan ibu dan meminta pendapat tentang masalah ini padanya rupanya cukup membantuku. Aku telah memikirkannya, untuk mengatakan iya pada Bang Ical dan benar-benar melupakan Baskara.

***

Prosesi pernikahan Kak Aruna dan Mike berlangsung dengan lancar. Aku menjadi salah satu dari bridesmaid mereka bersama dengan tiga sahabat dekat Kak Aruna dan satu sepupu Bang Ical. Pada saat pesta pernikahan, Tante Arimbi dan Om Prabu mengenalkanku sebagai calon menantu mereka, padahal Bang Ical menjelaskan bahwa kami masih berpacaran dan belum ada rencana untuk ke jenjang yang lebih lanjut.

Entah mengapa orang-orang di Kantor sangat heboh ketika mengetahui aku dan Bang Ical resmi berpacaran. Mereka semua bersorak sorai saat aku menjawab bahwa hal itu benar. Kehidupanku menjadi terasa lebih menyenangkan setelah kami meresmikan hubungan ini.

"Honey, apa kamu ada acara lain setelah kerja?" tanya Bang Ical saat dia menelponku di sela-sela istirahat siang.

"Aku luang," jawabku. "Ada apa Bang?"

"Aku ingin mengajakmu pergi, merayakan enam bulan hubungan kita," ajak Bang Ical.

"Bang Ical, ini baru enam bulan, belum satu tahun," kataku memprotes.

"Aku sudah tidak sabar jika harus menunggu satu tahun. Ayolah, aku ingin mengajakmu ke suatu tempat."

"Baiklah," kataku menyerah. "Aku akan selesai lebih cepat hari ini." 

Prisoner Of Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang