Bagian 3

695 27 0
                                    


"Dia siapa Bhiy?" tanya Bang Ical ketika kami tengah berjalan di sekitar Sanur. Mbak Puji, Miss Kinan, dan Ihsan sibuk keluar masuk stand untuk berbelanja di pasar malam Sanur, sementara aku dan Bang Ical memilih untuk berjalan-jalan di sekitar pasar malam sambil menikmati suasana malam Sanur.

"Maksud Bang Ical, yang ngasih aku novel tadi?" tanyaku memastikan dan Bang Ical mengangguk.

"Oh itu, teman kuliahku bang," jawabku.

"Kelihatannya kalian akrab banget sampai-sampai ngasih kamu novel segala?"

"Akrab?" gumamku memikirkan apakah kami seakrab itu. "Nggak kok, Cuma teman kenal saat kuliah. Dia juga bukan teman satu jurusanku. Hehehe..."

"Oh, seperti itu..."

"Seperti satu kampus, terus bertemu waktu acara kampus. Kurang lebih seperti itu sih," kataku menerangkan. Jelas sekali aku merasa perlu menerangkan ke Bang Ical agar dia tidak menjadi salah paham.

"Kirain, soalnya aneh saja jika hanya teman kenal tiba-tiba memberikan kamu novel. Sesuatu yang kamu suka," ujar Bang Ical.

"Kebetulan aku emang pernah cerita ke dia sih Bang, kalau aku suka tulisan Adinda Lafata."

"Aku juga suka buku-buku Adinda, menarik dan dia punya banyak perspektif untuk menjelaskan suatu permasalahan yang menurutnya penting. Itu semua tergambar dalam novel-novelnya," tutur Bang Ical. Aku sungguh tidak menyangka Bang Ical membaca buku-buku Bu Adinda juga.

"Jadi Bang Ical juga suka baca novel?" tanyaku semakin penasaran.

"Nggak semua genre aku suka sih? Cuma novel-novel tertentu aja yang bagus dan recommended buat dibaca," jawabnya. Aku merasa bahagia karena menemukan satu lagi orang yang masih suka membaca novel di zaman ini.

"Seperti novelnya Pram," tambah Bang Ical.

"Sepertinya itu bacaan wajib. Tetralogi Bumi Manusia," tukasku.

"Dee, Supernova," ucap Bang Ical.

"Aku juga suka semua tulisan Dee. Perahu kertas populer banget," jawabku. "Novel-novel sekarang juga banyak yang bagus, seperti karya Fiersa," kataku menambahkan beberapa nama penulis novel yang cukup populer di Indonesia. Ujung-ujungnya kami jadi asyik membicarakan soal novel dan buku.

"Omong-omong sejak kapan kamu suka membaca novel?"

"Sepertinya sejak baru pintar membaca bang. Aku dulu suka baca buku anak-anak, lalu langganan beli teenlit pake uang saku zaman SMP," ucapku sembari mengenang masa-masa itu.

"Iyakah? zaman itu cewek-cewek di kelasku pada suka banget baca teenlit," sahut Bang Ical, rupanya kami jadi nostalgia zaman sekolah.

"Abis seru dan related buat anak sekolahan," tukasku. "Yang isinya soal cowok populer di sekolah anak basket gitu."

"Kenyataannya yang seperti itu nggak pernah kejadian juga di SMA," tambah Bang Ical, lalu kami sama-sama tertawa mengingat zaman SMA yang tidak seperti di novel-novel teenlit yang aku baca.

"Kalian asyik banget, pada ngobrolin apa?" tanya Miss Kinan. Dia menghampiri kami bersama dengan yang lain. Rupanya mereka telah selesai berburu pernak-pernik.

"Nggak kok, cuma ngobrolin zaman SMA saja," jawab Bang Ical.

"Ayo kita makan sate lilit! Laper banget nih," ajak Ihsan dan kami segera beranjak dari tepi pantai menuju kedai pinggir jalan yang menjual menu sate lilit.

Prisoner Of Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang