Bagian 22

217 10 0
                                        

Suasana bumi perkemahan di pagi hari sangat menentramkan, sejuk dan hening. Kabut masih belum hilang dan tetesan embun memenuhi bagian luar permukaan tenda. Aku menghirup udara yang mendinginkan paru-paruku dan menghembuskannya, terlihat uap air tepat di depan wajahku. Ah... aku menyukainya, sesuatu yang tidak akan kutemukan di Jakarta.

"Sepertinya tidak bisa membuat api, karena kayu bakarnya basah semua. Aku akan pergi ke mobil sebentar kamu tunggu di sini," ucap Baskara segera menghilang dari pandanganku, bahkan sebelum aku sempat mengangguk. Suasana masih hening, masih pukul 6 pagi rupanya. Masih banyak tenda yang penghuninya belum bangun. Namun, suara burung yang berterbangan di area danau cukup mengusir rasa kesepianku.

Tidak terlalu lama kemudian, Baskara telah muncul kembali dengan membawa kompor portable. "Tahu kamu membawa kompor, mengapa kita harus repot-repot memasak mie menggunakan api unggun," keluhku. Terkadang aku memang tidak bisa memahami jalan pikirannya.

"Kamu belum pernah melakukannya kan? Anggap saja kita sedang roleplay zaman paleolithikum," kata Baskara mengeles.

"Dasar anak sejarah," sahutku.

"Dari pada mengaku anak lingkungan, tapi tidak pernah ikut kegiatan alam."

"Tidak semua anak lingkungan menyukai kegiatan alam Baskara, lagi pula itu juga tidak wajib," kataku membela diri.

"Mari makan, telur gorengnya sudah matang," ucap Baskara mengalihkan perhatianku dari pembahasan mengenai kegiatan alam. Kami pun menyarap dengan mie instan, telur, dan kornet.

"Nanti siang kita harus makan sesuatu yang bergizi. Aku bisa sakit jika makan mie instan terus menerus," keluhku sembari menyuapkan sarapanku.

"Iya... iya..."

Sebelum siang datang dan matahari meninggi, aku dan Baskara telah merapikan semua peralatan camping kami. Tidak lupa kami membersihkan semua sampah bekas api unggun dan memastikan tempat kami mendirikan tenda bersih dari dari sampah apapun. Sebelum hari berakhir dan kembali ke Jakarta, kami memutuskan untuk mampir ke Kebun Raya Cibodas.

"Bunga sikat botol," ucapku, ketika membaca nama tanaman yang tertera di palang. "Callistemon citrinus, benar-benar unik namanya sesuai bentuk fisiknya yang menyerupai sikat botol."

"Magnolia selatan, oh seperti ini rupanya bunga Magnolia," gumamku. Aku sangat terpukau melihat ada banyak vegetasi di kebun raya yang tidak pernah aku kenal, bahkan sama sekali tidak terbayangkan di otakku ada tanaman yang seperti itu.

"Aku juga tidak pernah tahu ada bunga bernama Magnolia," ujar Baskara yang berdiri tepat di sampingku.

"Ayo kita lihat jenis-jenis bunga yang lain!" ajakku, dan kami segera beranjak untuk melihat koleksi tanaman bunga yang lainnya. Ketika tengah melihat bunga Kantung Semar, ponsel Baskara berdering dan dia meminta izinku untuk mengangkat panggilan yang terlihat mendesak itu.

"Bhiy, sepertinya kita harus pulang sekarang," ucap Baskara tiba-tiba, membuatku terkejut.

"Kenapa mendadak?" tanyaku.

"Mamaku pingsan dan aku harus ke Tangerang sekarang."

Mendengarnya, aku spontan mengangguk dan kami segera pergi meninggalkan lokasi kebun raya. Namun, sudah dapat diduga lalu lintas puncak di musim akhir pekan seperti ini cukup padat bahkan bisa dibilang macet. Membuat perjalanan kami tidak dapat berjalan lancar dan tiba tepat waktu sesuai dengan yang diharapkan. Meskipun berkonsentrasi menyetir, aku depat melihat wajah Baskara telah pucat penuh dengan kepanikan.

"Baskara, aku ikut kamu ke rumah sakit saja," kataku, ketika mobil kami harus terhenti di ruas jalan Bogor-Jakarta yang macet.

"Tidak apa Bhiy, biar aku sendiri."

"Jangan, kalau kamu harus mengantar aku kembali ke kos akan memakan waktu lama. Mending aku sekalian ikut kamu ke rumah sakit biar kamu cepat sampai juga," ucapku mengutarakan pemikiranku mengapa aku harus ikut. Tanpa aku duga, Baskara mengiyakan dan mobil segera melaju menuju rumah sakit tempat mama Baskara dirawat.

Malam telah tiba, ketika kami sampai di sana. Baskara langsung saja menuju ruangan yang disebutkan oleh kakak perempuannya melalui aplikasi chating. Aku pun mengikutinya yang berlari dengan tergesa. Sesampainya di sana, seorang perempuan dengan rambut panjang sepinggang, yang lebih tua dari kami tengah duduk di depan ruangan yang dimaksud.

"Kak, bagaimana kondisi mama?" tanya Baskara.

"Mama masih belum sadar, tapi kata dokter sudah keluar dari kondisi kritisnya," jawab perempuan itu, yang kutahu belakangan namanya adalah Btari. Mendengar kondisi ibunya, Baskara langsung masuk ke ruangan dengan menarik tanganku. Terlihat seorang wanita paruh baya yang teramat tegar tidur di pembaringan. Baskara pun menyentuh telapak tangan mamanya dengan lembut dan memohon lirih agar wanita itu segera sadar.

Cukup lama kami berada di ruangan itu, tetapi mama Baskara belum juga sadar. Kak Btari yang sedari tadi berada di luar masuk dan memanggil kami. "Kalian pasti belum makan? Ajak temanmu makan dahulu. Biar kakak yang menjaga mama, nanti jika mama sadar, kakak akan langsung mengabari kalian."

Baskara mengikuti perintah kakaknya dan mengajakku untuk sekadar mengisi perut di kantin rumah sakit.

"Aku minta maaf Bhiy," ucap Baskara, saat kami baru saja selesai makan malam. Kami berdua duduk sejajar di sebuah selasar yang sepi dengan pemandangan lampu taman.

"Minta maaf untuk apa?"

"Karena kamu harus menyaksikan saat-saat terpurukku Bhiy," ucap Baskara dengan murung. Aku tidak tahu masalah apa yang sebenarnya terjadi pada mamanya, tetapi aku bisa merasakan bahwa Baskara menahan tangis. Aku genggam erat tangannya dan kupeluk tubuhnya dari samping. Dia menyandarkan kepalanya pada pundakku seperti anak kecil yang meminta perlindungan.

"Sebenarnya, aku tidak datang dari keluarga harmonis Bhiy. Keluargaku berantakan. Ayahku menikah lagi, ibuku sering mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari ayahku. Ibuku tidak pernah bisa bercerai dari ayahku Bhiy, karena ketika dia menginginkan untuk bercerai, ayahku pasti akan memukulinya habis-habisan. Aku tidak pernah mengerti pemikiran orang yang seperti itu, mana mungkin satu manusia bisa membagi pada dua hati dengan adil. Bulshit..." ujar Baskara dan aku hanya diam mendengarkannya sembari tanganku yang mengenggam, mengusap-usap punggung tangannya, mendamaikannya.

"Seperti yang kamu lihat kali ini, ayahku memukuli ibuku lagi. Entah apa alasannya. Rupanya harta yang melimpah dan istri yang cantik tidak serta merta membuatnya menjadi pribadi yang baik. Maka dari itu aku lari dari rumah, hanya sekedar agar aku bisa melupakan perlakuan ayah pada ibuku untuk sementara. Kamu boleh menilai tindakanku pengecut, aku akan senang hati menerimanya. Namun, aku merasa lebih pengecut bila aku berada di rumah itu, tetapi aku tidak bisa melakukan apapun untuk ibuku."

Tanpa sadar air mata Baskara menetes perlahan. Aku mengusapnya dengan ibu jariku. "Aku tahu kok, mama pasti wanita yang sangat tegar. Dari pada menangis, ayo kita kembali ke dalam! Mama pasti sudah menunggu kita," ucapku menenangkannya.

Baskara pun menghentikan air matanya dan kami kembali ke ruang rawat inap. Sesampainya di sana, mamanya baru saja sadar dan Kak Btari hendak menghubungi kami. Namun, perempuan itu masih terlihat sangat lemah hingga belum berkata apapun selain memandangi wajah kami satu persatu. Beliau kemudian terlelap kembali.

"Kakak kalau mau balik sekarang tidak apa, biar aku yang jaga dengan Abhiy," ucap Baskara, aku tahu dia sangat sayang kepada mamanya sampai tidak tega meninggalkan Beliau.

"Kakak pulang dulu sebentar untuk mengambil baju mama, nanti kakak akan datang lagi dengan Kumbara dan kita bergantian menjaga mama. Lagi pula kalian besok harus kerja kan?" ucap Kak Btari. Kumbara adalah suaminya.

"Baiklah," ujar Baskara, dan malam itu kami berdua menjaga mama Baskara di rumah sakit. Keesokan harinya, sebelum subuh Kak Btari telah datang dengan Kak Kumbara, disusul dengan mama yang telah membaik.

"Baskara gadis ini siapa? Cantik sekali?" tanya mama saat kami berpamitan.

"Ini pacar Baskara ma, Abhiya namanya. Cantik bukan?" ujar Baskara yang dijawab dengan anggukan kepala mamanya. Entah mengapa kali ini, ketika Baskara menyebutku sebagai gadisnya, sedikitpun tidak terbersit dalam diriku untuk marah kepadanya.

Prisoner Of Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang