Bagian 19

143 11 0
                                    


Usai Baskara kembali ke kosku dalam keadaan mabuk itu, kami akur kembali. Dia tetap menjadi teman tidurku, bahkan kita saling membantu menyiapkan sarapan, mencuci piring, memasak makan malam, sampai dengan membersihkan kamar. Kupikir dia akan selamanya menjadi seorang yang bossy, ternyata aku salah, dia cukup kooperatif.

"Sampai jumpa nanti malam, istriku," kata Baskara, sebelum dia berangkat kerja pagi ini.

"I'm not your wife," sahutku sebal. Kebiasaan menggombalnya belum juga sembuh.

"Sudah cepat sana berangkat," teriakku padanya. Aku tahu jarak kantornya lebih jauh dibandingkan jalan menuju kantorku. Kami berpisah, berangkat menuju tempat kerja masing-masing. Hari-hari di kantor tetap seperti biasanya, begitu juga di kantorku.

Jam 10 siang, aku baru saja menyelesaikan laporan yang sudah kususun selama beberapa hari. Tubuhku terasa pegal akibat duduk selama berjam-jam dan pikiran yang terfokus pada layar komputer. Aku pun merenggangkan badanku sebentar sebelum akhirnya Miss Kinan masuk ke ruangan Mbak Puji dan memanggilku.

"Minta tolong untuk ke kantor Pak Ajisaka sama Ihsan. Sekarang?" perintah Miss Kinan.

"Sekarang miss?"

"Iya, jangan lupa buat balik sebelum jam 2, karena kita ada rapat dengan Pak Satya dan pimpinan lain," ucap Miss Kinan lagi. Tanpa banyak tanya aku segera menyiapkan tas dan bawaanku serta bergabung dengan Ihsan menuju ke kantor Pak Ajisaka yang letaknya cukup jauh dari tempat kami.

"Mbak Abhiy sengaja kan mau kesana biar bisa ketemu sama Bang Ical?" olok Ihsan ketika kami dalam perjalanan. Bukannya fokus menyetir, dia malah memulai pertengkaran denganku.

"Ye... tidak ya. Bukannya kamu yang sengaja ingin pergi ke sana biar bisa ketemu sama siapa itu ah..." tiba-tiba aku lupa nama gebetan Ihsan. "Natasya, iya si Natasya."

Akhirnya aku bisa mengingat namanya. Aku menang telak dari Ihsan karena tiba-tiba wajahnya berubah jadi cemberut.

"Kamu kenapa, San?"

"Mbak Abhiy belum tahu, minggu kemarin aku nembak dia dan aku di tolak mbak," sahutnya membuatku terkejut. Rupanya aku ketinggalan berita.

"Maaf, aku belum dengar sebelumnya," ucap maafku tidak tulus karena ada senyum kecil dibaliknya.

"Iya mbak, tidak apa-apa. Aku sengaja merahasiakan dari orang-orang kantor jadi cukup Mbak Abhiy saja yang tahu," kata Ihsan melegakanku.

"Sekali lagi aku minta maaf Ihsan, sudah membuatmu mengingat hal yang buruk soal kalian," ucapku yang kali ini dengan tulus.

"Iya mbak, aku memberimu maaf. Asal Mbak Abhiy nggak bocor saja," ujar Ihsan memohon. Aku pun meyakinkannya untuk tidak khawatir padaku. Akhirnya aku sibuk menghabiskan waktu perjalanan itu untuk menguatkan hati Ihsan, hingga tidak terasa kami telah sampai di tempat parkir gedung kantor Pak Ajisaka berada.

Konsultan Hukum Ajisaka and Partners adalah perusahaan konsultan yang cukup terkenal di Jakarta dan banyak bekerja sama baik dengan perusahaan maupun perseorangan. Karyawan yang bekerja di sana juga cukup banyak bila dibandingkan dengan konsultan hukum lain dan pekerjaan yang mereka terima juga tidak sedikit. Kesibukan yang ada di kantor itu membuat Ihsan cukup beruntung karena dia tidak perlu bertemu Natasya, karena dia tengah berada di luar. Tepat saat jam makan siang, tugasku dan Ihsan di kantor itu telah selesai dan kami memutuskan untuk segera makan siang di luar.

Ketika berjalan di lobi kami berdua tidak sengaja berpapasan dengn Bang Ical dan dua orang teman kerjanya. Bang Ical pun menyapaku dan Ihsan.

"Abhiy, dari kapan di sini?" tanya Bang Ical memulai percakapan.

"Sudah agak tadi sih bang, ini kami mau balik ke kantor," jawabku.

"Iya kah? Sayang sekali."

"Sebenarnya kita mau makan siang dulu bang," sahut Ihsan sebelum aku sempat menjawab.

Bang Ical menatapku sebentar sebelum mulai berbicara lagi. "Bagaimana kalau kita makan siang bersama, kalian bisa bergabung dengan kami," kata Bang Ical sembari melirik kedua temannya.

"Nggak perlu bang, kami pamit saja," ucapku menolak. Namun, Ihsan malah menyenggolku.

"Boleh kok bang," sahut Ihsan.

Ah... Ihsan membuatku malu saja, haruskah kami berdua ikut bergabung bersama mereka? Batinku bertanya.

"Kalau begitu kenalkan teman-temanku, ini Devon dan Surya. Devon dan Surya mereka Abhiya dan Ihsan dari konsultan lingkungan yang sering bekerja sama dengan kita," ucap Bang Ical dan kami saling berkenalan.

"Ini cewek yang kamu ceritakan itu Cal?" tanya Surya dan Bang Ical mengangguk dengan senyuman padanya. "Lumayan juga rupanya," kata Surya sekali lagi membuatku menjadi canggung. Memangnya Bang Ical cerita tentang apa saja ke mereka berdua. Pikirku penasaran.

"Dev, mending kita makan siang di tempat biasanya berdua saja. Sepertinya Ical sedang tidak bisa bergabung dengan kita," kata Surya seolah memberikan kode pada Devon untuk membiarkan Bang Ical sendirian.

"Semoga kamu berhasil Cal," ucap Surya lirih. Tanpa menunggu persetujuan dari Bang Ical, mereka telah pergi meninggalkan kami.

"Bagaimana kalau Mbak Abhiy makan siang dengan Bang Ical saja? Aku lupa kalau aku harus pergi ke suatu tempat," kata Ihsan tiba-tiba.

"Makan siang dulu saja San," ajakku.

"Haduh, aku benar-benar lupa mbak. Jadi aku duluan ya mbak, nanti kita bertemu di kantor," ucap Ihsan bersiap pergi.

"Nanti, bagaimana caranya aku kembali ke kantor?"

"Tidak apa-apa Bhiy, aku bisa antar," kata Bang Ical dan Ihsan benar-benar pergi meninggalkan kami. Membuatku semakin merasa canggung berdua saja dengan Bang Ical di tempat yang cukup asing bagiku. Semua pandangan orang-orang mengarah pada kami berdua semenjak Ihsan pergi.

"Kalau begitu ayo kita berangkat sekarang! Keburu jam makan siang selesai," ajak Bang Ical dan dengan terpaksa aku mengikutinya. Rupanya hari ini Bang Ical tidak membawa mobil, sehingga kami naik taksi menuju ke sebuah restoran cepat saji yang tidak jauh dari kantornya.

"Kamu tidak apa makan fast food?" tanya Bang Ical.

"Tidak masalah bang. Lagi pula aku yang menginginkannya. Bosen makan makanan rumahan terus," ujarku, sembari mengunyah burger.

"Benarkah? Kan kamu anak kos?"

"Aku suka memasak dan sering masak sendiri untuk makanku," jawabku.

"Jadi kamu pintar memasak? Tidak kusangka," kata Bang Ical memujiku dan aku tersenyum senang mendengarnya. "Sepertinya kapan-kapan aku harus mencoba masakanmu."

"Bagaimana jika kamu datang ke rumahku. Aku kenalkan kamu sama papa sekalian masak untukku. Aku benar-benar penasaran ingin mencoba masakanmu," usul Bang Ical.

Aku terdiam merenung sejenak. "Aku bukan chef bang, aku takut Bang Ical akan menyesal ketika merasakan masakanku."

"Aku yakin pasti enak. Orang secantik kamu biasanya punya masakan yang sama enaknya dengan dirimu," kata Bang Ical meyakinkaku yang tersipu malu berkat pujiannya.

"Bang Ical, bisa aja," ujarku masih belum bisa menyembunyikan mukaku yang memerah.

Jam istirahat makan siang hampir berakhir. Bang Ical mengantarku ke kantor dengan taksi sebelum kembali ke kantornya sendiri. Aku pun berterima kasih untuk traktirannya hari ini dan melambaikan tanganku padanya saat taksi yang membawanya pergi meninggalkanku. 

Prisoner Of Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang