Bagian 16

180 12 0
                                    


"Aku kangen es kopi Markas Diksi. Menurutku itu es kopi hitam terenak yang pernah aku minum," ucapku. Rasa es kopi Markas Diksi memang sangat membekas di ingatanku dan aku belum pernah menemukan rasa yang serupa di tempat lain.

"Es kopi kesukaanmu kan sayang? Sudah berapa tahun kamu tidak mencicipinya?" tanya Baskara.

"Aku pikir sekitar 4 tahun, setelah aku lulus kuliah aku tidak pernah berkunjung ke Markas Diksi lagi," ucapku. Kesibukanku bekerja setelah lulus ditambah kepindahanku ke Jakarta membuatku perlahan melupakan Markas Diksi.

"Mau tahu nggak? Apa yang aku kangeni dari Markas Diksi?"

"Nggak," jawabku menggoda Baskara dan membuatnya kesal.

"Aku kangen baca buku lagi sama kamu," ujar Baskara dan aku larut dalam nada seriusnya. Sesuatu yang terakhir kami lakukan 4 tahun yang lalu.

"Ayo kita membaca buku lagi seperti dulu," ajak Baskara dan aku hanya menanggapinya dengan terdiam.

Sampai akhir pekan datang, aku belum kunjung memberinya jawaban soal membaca buku bersama. Semenjak percakapan kami terkait Markas Diksi, aku teringat pada ajakannya untuk membaca di pantai pada akhir pekan. Namun, di saat yang sama aku juga teringat bahwa aku telah mengiyakan permintaan Bang Ical untuk menghadiri makan malam bersama mamanya.

"Jadi kamu benar-benar tidak akan pergi bersamaku akhir pekan ini?" cecar Baskara di hari Jum'at ketika aku menyampaikan padanya bahwa aku telah memiliki agenda lain.

"Acara apa? Pekerjaan? Rapat penting? Mendadak?" Emosi Baskara meluap-luap hingga aku tidak diberinya sedikitpun kesempatan untuk menyela pembicaraannya. Dia berdiri uring-uringan di depanku sembari tangannya berkacak pinggang dan mata yang menatap tajam padaku. "Ini weekend Bhiy, siapa yang mau mencarimu untuk urusan pekerjaan?"

"Jangan-jangan kamu mau pergi sama Ical kan? Jujur?"

"Iya aku mau pergi sama Bang Ical untuk merayakan ulang tahun mamanya," ucapku. Sebenarnya aku tidak ingin mengatakan hal ini padanya. Mengapa aku harus mengatakan itu padanya atau meminta ijinnya? Dia bukan siapa-siapa bagiku. Lagi pula aku pikir makan malam itu lebih penting dibandingkan pergi ke pantai hanya untuk membaca buku bersama.

Usai percakapan pagi itu kami saling diam. Tidak ada sarapan bersama, tidak ada canda setelahnya, yang ada hanyalah diam dan diam. Bahkan tidak saling menyapa satu sama lain. Setelah selesai bersiap, Baskara masih membuang muka padaku dan melengos saja meninggalkan kos untuk pergi bekerja. Aku pun tidak ingin terlalu memikirkan sikapnya yang mendiamkanku.

[Abhiy, jangan lupa besok aku jemput kamu di kos jam 5 sore]. Pesan dari Bang Ical mengingatkanku pada hari Jum'at pukul 9 malam. Padahal aku tidak lupa sama sekali dengan janji itu, tetapi masih saja dia telaten mengingatkanku.

[Iya bang]. Balasku dan aku juga mengingatkannya untuk mengabariku jika dia dalam perjalanan menjemputku. Selanjutnya, aku sibuk berbalas pesan dengan Bang Ical sampai sekitar pukul 10 malam.

Ah... lega sekali kamar kosku hari ini. Batinku ketika aku bersiap untuk tidur. Aku mulai memikirkan apa yang kurang sehingga kamar kosku menjadi terlalu luas untukku. Aku lupa, Baskara belum juga datang. Jarang sekali dia pulang larut malam, aku pikir dia mulai mengurangi aktivitas menongkrongnya, tidak seperti zaman kuliah dulu yang bisa pulang hingga pagi hari.

Buat apa menyulitkan diri dengan memikirkan Baskara. Toh, dia tidak perlu dikhawatirkan. Dia akan datang sendiri jika dia mau dan begitu pula sebaliknya, akan pergi sendiri jika dia berkehendak. Aku berdialog dengan diriku sendiri sebelum naik ke pembaringan. Permasalahan Baskara belum muncul batang hidungnya hingga pukul 10 malam bukanlah hal besar. Aku memilih untuk mengabaikan hal itu dan tertidur dengan lelap.

Prisoner Of Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang