[EPILOG]

140 23 1
                                    

***

Suasana restoran yang dikunjungi keluarga ini begitu sepi seolah memberi ruang untuk keluarga mereka berbicara hal serius di selang kegiatan makan dalam diam mereka. Hal yang dulu paling Diyo benci adalah makan di meja makan bersama keluarganya yang sudah hampir retak tapi mengulur waktu. Diyo menyudahi aksi makannya ketika makanan yang ada di piringnya sudah habis. Hal itu adalah hal langka karena biasanya lelaki itu ogah menghabiskan makanan dan berlama-lama berada di meja makan.

Keluarganya saling pandang satu sama lain tetapi mereka masih saja diam hingga mamanya bersuara.

"Kayanya kamu udah ngubah kebiasaan." Dia menatap Diyo yang duduk di depannya.

Diyo hanya diam.

"Oke ga usah berlama-lama lagi, semuanya sudah selesai makan juga. Sekarang kita bahas tentang hak asuh," ujar papanya menaruh sendok dan garpu.

Wajah mereka mulai serius karena pembicaraan ini akan menentukan masa depan anak-anak mereka.

"Mama ga bakal maksa kalian, kalian bebas memilih."

"Aku ikut mama," ujar Nora langsung memberitahu keinginannya.

Mamanya tersenyum ke arah Nora dan mengelus kepala anak bungsunya. "Oke kamu ikut mama ya."

"Tapi aku ga mau pisah sama kak Diyo," lanjut Nora.

Diyo masih diam, sama seperti sebelumnya dia belum memiliki pilihan. Kenapa harus memilih mama atau papanya? Kenapa tidak ada pilihan untuk mengikuti kakak tertuanya saja.

"Biarkan kakak kamu memilih," ujar papa mereka.

Nora memandang Diyo yang sedang menunduk memainkan kakinya.

"Diyo kamu ikut siapa?"

Diyo menaikkan pandangannya. "Ga ikut siapa-siapa, boleh?"

"Diyo jangan mulai--"

"Bukannya anak di atas umur 20 tahun udah terhitung dewasa?" potong Diyo.

"Maksud kamu apa?" tanya Papanya heran.

"Pa, Diyo bilang ke Ridho dia mau nyoba tinggal sendiri dan hidup mandiri. Dia baru aja lulus kuliah pa, biarin dia nyoba kehidupan baru," ujar Ridho mencoba membantu Diyo. Ridho adalah orang yang paling paham tentang Diyo di rumahnya.

"Dia udah pernah tinggal sendiri waktu SMA, lihat hasilnya? Dipindahin karena berantem, udah pernah tinggal bareng orang lain waktu kuliah, terus? Ditinggal mati sama temannya."

Diyo sontak mengepalkan tangannya ketika papanya menyinggung kepergian Rey dengan kata-kata yang kurang enak didengar.

"Ridho, kamu terlalu manjain dia sampai dia selalu minta yang aneh-aneh--"

"Walaupun saya tinggal bareng orang tapi rumah orang lebih kerasa kesan rumahnya dari rumah kalian." Diyo tersenyum miring. "Ga ada tempat berpulang yang retak kaya gini, kenapa kita ga bangun rumah masing-masing?" Diyo menatap kedua orang tuanya dengan malas.

"Pa, turunin sifat keras kepala papa. Tanpa sadar papa terlalu keras mendidik anak-anak papa." Ridho masih mencoba berbicara dengan nada rendah untuk menjaga emosi antar keluarganya.

Walk in Destiny ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang