[SEVEN]

727 96 16
                                    

Happy reading💚

---

Diyo membuka pintu kamar dan segera masuk, membuka gorden yang belum dibuka sejak pagi karena tergesa-gesa pergi ke kampus tadi.

Ia merebahkan diri pada kasur empuk yang terletak di pojok kamar, melempar tas begitu saja, dan langsung memejamkan mata bahkan tanpa melepas kaos kakinya terlebih dahulu.

Lelah rasanya hari ini, padahal mata kuliahnya tidak begitu banyak. Diyo kembali membuka matanya, pikirannya masih terngiang-ngiang akan cerita Yora tadi, tentang kehidupannya setelah pindah dari Bandung hingga kembali lagi kemari.

Diyo tersenyum, ternyata takdir begitu baik hingga mempertemukan mereka kembali. Ia pikir mereka tidak akan pernah bertemu lagi, dan menjalani hidup masing-masing tanpa tahu kabar satu sama lain. Namun takdir berkata lain dan mempertemukan mereka lagi.

Lekaki itu berdiri dari posisi rebahannya dan berjalan mendekati koper yang ia letakkan di atas lemari. Dibukanya koper itu dan segera mencari sebingkai foto yang sengaja ia simpan di sana agar tidak rusak.

"Kapan gue ketemu lo lagi?" ujarnya pelan menatap foto tersebut.

Diyo kembali ke kasurnya dengan membawa foto itu, fotonya bersama Ziko saat masih SD. Mereka adalah teman kecil yang terpisahkan saat Diyo pindah ke Jakarta, tapi ketika ia dipindahkan kembali ke Bandung, mereka bertemu lagi bahkan satu SMA.

Diyo mulai berpikir, apakah takdir tidak akan berbaik hati dua kali? Karena ia sudah dipertemukan saat SMA setelah berpisah ketika SD dengan Ziko.

"Konyol," kekehnya.

Untuk apa mengkaji takdir? Biarlah dia melakukan perintah Tuhan tanpa harus ada campur tangan manusia. Namun, ada pepatah yang bilang kalau manusia memang tidak bisa memilih takdirnya tapi bisa merubah jalan takdir agar lebih baik lagi.

Oh kedengarannya tidak mungkin.

Ceklek!

Diyo menoleh, seseorang membuka pintu kamarnya.

"Lo ninggalin gue lagi."

Diyo tak membalas orang itu, dia meletakkan foto tadi di dalam tas yang tergeletak tepat di samping dirinya.

Rey masuk dengan wajah malas-malasan, sepertinya dia sangat lelah hari ini.

"Pulang pake apa lo?" tanya Diyo.

"Menurut lo?" balas Rey tak minat.

Diyo duduk di atas kasur dan menatap Rey dengan wajah menahan tawa.  "Gue niat jemput lo, gue kira lo pulang agak lamaan," kilahnya.

"Ganti duit gue, buat bayar angkot tadi." Cowok itu mengulurkan tangannya.

"Lah, kan salah lo kenapa ga nunggu gue bentar. Ntar juga gue jemput."

"Gimana gue tau kalau lo mau jemput?"

"Ya, feeling gitu."

Rey tidak membalas lagi, ia lelah jika harus berdebat dengan sahabatnya itu. Diyo memang tidak tahu diri, motor yang ia bawa pulang adalah motor Rey, dan si pemilik motor malah ditinggal di kampus. Salah Rey juga yang membiarkan cowok itu memegang kunci motornya tadi.

Walk in Destiny ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang