7

1.1K 303 9
                                    

Duduk berhadapan dengan cokelat panas di tangan masing-masing, Rosé dan Jister mulai mengobrol ringan sambil menyeruput minuman masing-masing.

"Jadi, kau baru saja datang ke sini?"

"Ya, aku diberitahu oleh informan ibumu bahwa kau di sini."

Jister menghembuskan napas panjang, ia tahu akan seperti ini. Sedikitnya ia merasa bersalah pada Rosé yang pasti menanggung akibat dari kepergiannya secara tiba-tiba.

"Katakan padaku, Jister." Pinta Rosé.

"Aku tidak mau dijodohkan dengan gadis itu." Jawab Jister.

"Tapi kenapa harus pergi?"

"Mereka akan terus mendesakku, Rosé."

"Tapi kau membebaniku."

"Maaf."

Kini giliran Rosé menghembuskan napasnya panjang, tatapannya berubah menjadi sendu dengan sorot lelah turut hadir dalam matanya.

"Semuanya terasa menyebalkan setelah kepergianmu. Paman dan Bibi kalang kabut mencarimu, kau anak tunggal dan aku yang juga di rumah itu dipaksa untuk mencarimu, padahal saat itu Paman dan Bibi sudah menyewa beberapa orang untuk mencarimu, tapi kenapa aku harus ikut mencari? Sejak awal Paman dan Bibi tak pernah menyukaiku, Jis. Bedanya saat kau ada, kau melindungiku, kemudian kau pergi membiarkan diriku menjaga diriku sendiri."

Jister menatap Rosé dengan dipenuhi rasa bersalah, ia melupakan fakta bahwa hanya ia lah tempat berlindung yang sesungguhnya bagi Rosé.

"Aku muak, aku selalu meninggalkan pekerjaanku untuk pergi mencarimu hingga ke luar negeri sekalipun. Akhirnya aku resign dan mencari pekerjaan baru. Paman dan Bibi menganggap dunia sekecil biji jagung hingga mereka membebaniku dengan tugas itu dengan mengirimku bepergian seorang diri."

"Aku pernah hampir menyerah saat itu, aku tak kunjung menemukanmu sedangkan aku merasa tak lagi sanggup, tapi aku mengingat kalung yang masih ku pakai hingga saat ini."

Rosé menunduk untuk mengambil kalungnya, menatapnya dengan lekat, kemudian kembali bersuara.

"Kau memberikan kalung ini dengan semua energimu, kau mengatakan jika aku merindukanmu maka aku harus menggenggam kalungku dan memanggil namamu tiga kali. Itu konyol, tapi semua perjuanganmu membuatku tetap hidup selama ini membuatku berpikir bahwa aku harus bertahan. Kau tidak pernah menyerah untuk melindungiku, lalu kenapa aku harus menyerah untuk mencari kembali pelindungku?"

Jister menatap Rosé dengan lekat saat mata indah itu mulai berair, meletakkan mugnya ke atas meja, Jister menarik Rosé ke dalam pelukannya dan membiarkan gadis itu terisak di pelukannya.

"Maaf, maafkan aku, Rosé."

"Maafkan aku yang egois ini, maafkan aku."

"Maaf."

Tangis Rosé semakin kencang saat Jister terus menggumamkan maaf, Jister adalah harta yang paling berharga baginya, lebih dari dirinya sendiri. Dan ketakutan terbesarnya adalah jika ia kehilangan Jister yang menjadi pelindung dan rumahnya.

"Jangan pergi." Lirih Rosé.

"Tidak, aku tidak akan pergi. Maafkan aku." Balas Jister yang masih setia memeluk Rosé dengan mengelus lembut rambut pirang Rosé.

Rosé melepas pelukannya, setelah menghapus sisa air matanya, Rosé menatap Jister yang juga menatapnya.

"Kau tahu betapa berharganya kau dalam hidupku, jangan membuatku merasa mati, Jister."

"Aku tahu, aku tahu Rosélia. Tapi, akan ada saatnya kau harus berjuang sendirian. Cobalah untuk yakin pada dirimu sendiri sebesar kau yakin terhadapku."

[✓] THE DOCTORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang