46

647 151 18
                                    

Hai, hai. Maaf yaa buat kalian nunggu. Tbh tugasku lagi padat guys, harap maklum ya 🙏

. . .

Duduk berhadapan dengan Paman dan Bibinya membuat Rosé sedikit kikuk, sebab ketika berulang kali melihat Jister, sepupunya itu terlihat cukup kesal.

"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?" Vokal Nielsen mengudara, disambut helaan napas dari Jister sebelum menjawab.

"Ayah, maafkan aku, tapi aku telah gagal." Balas Jister dengan nada penyesalan.

Dahi Rosé berkerut dalam, semakin tak paham dengan apa yang terjadi. Sedangkan Nielsen dan Teressa yang sama bingungnya, lantas menangapi,

"Gagal? Apa maksudmu?"

"Apa kau melakukan kesalahan?" Kata Nielsen menambahi pertanyaan istrinya.

Jister menggeleng, "Bukan, bukan itu. Bukankah Ayah dan Ibu selalu mengatakan padaku bahwa nama baik kita adalah sesuatu yang harus dijaga?"

"Tentu saja, Ayah bekerja banting tulang, susah payah, bukan untuk melihat nama keluarga ini diinjak-injak. Jadi katakan, ada apa?"

Jister tak menjawab, melainkan menggeser laptopnya pada posisi  di mana semua orang bisa melihat layar 14 inchi itu dengan jelas. Rekaman CCTV yang sempat membuat Jister naik darah tadi, kini diputar. Membiarkan Nielsen, Teressa, dan Rosé menyaksikan meski cukup bingung dengan akar masalahnya.

"Jangan banyak omong! Rosé hanya bentuk sumbangan dariku untuk untukmu."

Jister menghentikan rekaman dan memperbesar gambarnya hingga wajah Jayden memenuhi layar. Resolusi yang baik dan keberadaan kamera CCTV yang strategis, membuat wajah sosok yang menjadi tokoh utama dalam pembahasan tampak begitu jelas.

"Siapa anak muda bermulut sampah itu?" Desis Nielsen geram.

"Jayden Smith, putra pertama dari Darsen Smith. Dia bekerja di sebuah rumah sakit Las Vegas sebagai dokter bedah, dia muda dan berprestasi." Papar Jister.

Teressa mendecih pelan, "Berprestasi? Mulutnya tidak menunjukkan hal itu."

Nielsen menghela napas panjang, ia melepas kacamatanya, kemudian menatap Jister yang duduk di depannya, "Katakan! Apa yang kau butuhkan untuk rencanamu?"

Jister tersenyum miring, ayahnya cukup peka ternyata. Jister tak langsung menjawab, melainkan menoleh pada Rosé yang sejak tadi bungkam. Bukan wajah kesal atau sedih yang Jister tangkap, melainkan wajah dengan senyum tersipu pada wajah Rosé.

"Aish, ada apa dengan anak ini?"

"Hei! Apa kau masih waras, huh?!"

Rosé berdecak pelan, menginjak kaki Jister hingga korbannya memekik cukup keras, "Diam!"

"Bukankah di matamu, Vee itu manis? Dia cemburu dan saat kesal dia lucu."

Tuk!

"Bukan saatnya memikirkan itu, bodoh!" Sungut Jister setelah beri balasan dengan menyentil dahi Rosé.

"Berikan pada Ayah dan Ibu, cepat!"

Rosé mengangguk dan memberikan beberapa lembar kertas. Nielsen dan Teressa menerimanya, kemudian membacanya sekilas.

"Ayah, bukankah Paman Travis adalah sahabatmu?"

Nielsen tersenyum tipis, "Jadi, kau ingin aku meminta Travis mengunggah hal ini ke media Amerika?"

"Gotcha!"

"Apalagi perusahaan milik Paman Travis adalah media yang terkenal di Amerika, khususnya di beberapa daerah, seperti New York, California, Boston, Las Vegas, dan beberapa kota lain." Lanjut Jister.

[✓] THE DOCTORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang