"Bagus Martis! Ibu bangga padamu!" sorak Louisa sembari bertepuk tangan ketika Martis akhirnya berhasil mengalahkan Luciel sampai tersudut hingga ujung pedangnya nyaris menyentuh leher pria yang setengah terduduk akibat jatuh itu.
Martis tersenyum lalu menarik pedangnya untuk kembali disimpannya. Seperti murid dan guru pada umumnya, usai selesai bertarung keduanya saling membungkuk untuk menghormati satu sama lain.
"Minum dulu anakku, minum yang banyak" ucap Louisa langsung menyodorkan segelas jus yang diteguk oleh Martis lalu mengembalikan gelas itu ke nampan yang dipegangi oleh pelayan disebelah.
"Sudah Bu, aku tidak lapar." tolak Martis sopan saat ibunya hendak menyuapi potongan cake.
"Baiklah" Louisa mengembalikan cake itu ke atas piring, tangannya mengarahkan sapu tangan mengusapi kening Martis yang berkeringat.
"Lelah? istirahat dulu"
Martis menggeleng. "Tidak lelah, ibu. Kehadiran Ibu membuatku semangat sekali"
"Oh begitu kah?"
Martis mengangguk. "Begitu."
"Ibu sudah menemukan Academy yang cocok untuk mengembangkan kemampuan berpedangmu sekaligus memperluas pengetahuanmu" ucap Louisa seraya mengelus kepala putranya.
Martis sibuk mencelupkan tangannya ke mangkuk berisi air lalu dahinya berkerut. "Kenapa tiba-tiba, Bu? bukankah aku belum melakukan debut kedewasaan di Istana? usiaku bahkan belum genap 18 tahun."
Louisa mengangguk membenarkan seluruh opini putranya itu. "Iya, tapi debut tidak terlalu penting dibandingkan meningkatkan kemampuan pedangmu. Setelah lulus dari Academy, Raja akan langsung menunjukmu untuk mengikuti pembelajaran menjadi calon Raja."
Martis menghela nafas, ia bukannya tidak setuju tetapi diusianya yang masih sekecil ini rasanya tidak enak harus terpisah dari keluarga. "Aku sudah menjadi putra mahkota, Bu. Dan ayah juga belum kembali dari perang, aku belum bisa pergi."
"Tapi, nak--"
"MARTIS!!"
Teriakan lantang itu memotong ucapan Louisa, ketika menoleh ke arah datangnya suara mereka mendapati Archeron berjalan cepat dengan pedang ditangannya. Wajah laki-laki itu terlihat kesal, bola mata birunya menyorot penuh kegelapan ke arah mereka.
Sementara Catarina terlihat menarik tangan kanan Archeron untuk menghentikan laki-laki itu berbuat diluar kendali, namun Catarina malah berakhir terseret oleh tenaga Archeron yang rupanya sangat kuat meskipun tubuhnya sangat kurus dan luka-lukanya belum mengering total.
Berbeda jauh dengan Catarina yang panik, Martis justru menyambut dengan senyuman dan kedua tangan terbuka seolah bersiap memeluk adik laki-lakinya itu tetapi kemudian yang dilakukan Archeron justru menodongkan pedangnya tepat ke depan wajah Martis.
"Ayo bertanding!" tantangnya tanpa rasa takut sedikitpun sebab nyatanya Luciel berhasil membuat Archeron terintimidasi.
Martis tersenyum ramah pada sang adik yang terlihat seram. "Kenapa buru-buru? kita bisa duduk dulu dan mengobrol lalu--"
"ARCHERON!!" Louisa memekik saat ujung pedang milik Archeron menggores pangkal hidung Martis, hanya sedikit tapi melihat setetes darah keluar dari hidung anaknya ibu mana yang tak khawatir?
"Berani sekali kau bersikap tak sopan begitu pada kakakmu. Dia kakakmu, kakakmu!" bentak Louisa lebih mirip orang sedang maki-maki.
"Ibu, sudahlah.." Martis memundurkan satu langkahnya ke belakang. "Adikku hanya terlalu bersemangat bertanding pedang denganku. Ibu lebih baik kembali duduk dan menyaksikan pertarungan kami, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Archeron
Fantastik"Tadinya aku benci sekali pada antagonis bajingan sepertimu, tapi sekarang aku tahu semenjijikan apa kehidupan yang kau jalani. Archeron De Louis, aku bersumpah akan membawamu ke tahta!" *** Archeron De Louis, karakter antagonis kejam dalam sebuah...