[40] The light that was

14.7K 1.9K 171
                                    


"Olivia kemarilah, nak..."

Suara itu berseru ditengah terang cahaya menyilaukan mata. Olivia yang kala itu berusia enam tahun berjalan mendekat ke arah sumber suara yang memanggil namanya.

Dia berada di kuil dewa. Yang dikatakan sebagai tempat suci yang tidak bisa dijejali oleh sembarang orang maupun orang biasa (orang tanpa anugerah). Hanya mereka segelintir orang yang disetujui oleh dewa langit yang diperbolehkan masuk. Orang-orang itu memiliki kriteria murni sejak dilahirkan, belum tersentuh dosa, dan polos dalam pemikiran.

"Olivia, putriku yang telah disucikan." Suara itu masih memanggil, menuntun langkah Olivia semakin dekat ke inti kuil.

"Aku mau dibawa kemana?" dengan polos Olivia bertanya, sebuah wajah senyum tercipta dari cahaya yang berkumpul dihadapannya.

"Dewa akan memberimu pengetahuan yang hanya bisa digunakan sekali dalam seumur hidup. Ulurkan tanganmu, putriku Olivia yang telah disucikan" pinta suara asing namun lembut yang sampai saat ini tidak Olivia ketahui datangnya darimana karena terdengar dari seluruh penjuru arah mata angin.

Olivia lalu mengulurkan tangan kanannya yang bersih dan kecil. Ia ragu tetapi karena masih anak-anak dan patuh, Olivia melakukan yang suara itu perintahkan lalu tak lama kemudian ada sebuah akar cahaya kecil yang merambat masuk ke dalam telapak tangannya itu hingga menghasilkan cahaya silau menyakiti mata.

"A-apa... ini...?" kedua mata Olivia membulat saat cahaya itu semakin masuk dan membuat seluruh tubuhnya bersinar, bersamaan dengan itu ia juga mendapat pengetahuan cara menggunakan kekuatan sekali seumur hidupnya itu.

Yang  jika dicoba mengerti oleh anak sekecil itu tetap tidak akan dipahami.





Kembali ke masa sekarang.

Olivia selesai memakaikan kancing terakhir kemeja Archeron. Ia memandangi pria yang terlihat seperti sedang tertidur pulas dengan wajah pucat itu. Pikirannya terasa berkecamuk. Olivia tahu apa yang harus ia lakukan untuk menyelamatkan Archeron tapi di sudut lain hatinya ia merasa ragu dan canggung untuk melakukan hal itu.

Pikirannya memutar ulang kejadian pertemuannya dengan Archeron waktu itu. Pria itu mencengkram erat pergelangan tangannya dan menatap penuh kebencian sembari mempertanyakan pemilik asli dari gelang yang masih melingkar ditangan kanan Olivia hingga kini.

"Salah satu dari mereka adalah takdirmu, tolong rawat dengan baik ya?" suara gadis yang waktu itu turut menggema juga di kepalanya.

Olivia bimbang. Ia sendiri melihat sebenci apa Archeron terhadapnya. Pria itu memperingatkan padanya untuk tidak percaya pada dongeng yang sempat dikatakan gadis itu padanya. Itu tidak nyata, pria itu memastikannya sambil berteriak di depan wajahnya.

Namun pada sisi lainnya Olivia tetap harus menolong Archeron. Bukan hanya karena posisi tinggi yang dimiliki pria itu melainkan cenderung karena rasa kemanusiaan.

Setelah dirasa tidak akan ada orang yang datang, Olivia mengunci pintu. Dari wajahnya tergambar jelas kebimbangan disana. Langkah kecilnya berjalan mendekati ranjang, menghampiri Archeron yang masih terbaring.

Olivia tahu hal ini bisa jadi disebut sebagai hal yang tidak benar tetapi ini satu-satunya jalan untuk menyelamatkan orang terpenting di kerajaan ini. Bahkan kalau disuruh memilih sebenarnya Olivia ingin mundur tetapi mengingat hanya ia satu-satunya orang yang memiliki kemampuan itu dan hanya bisa digunakan sekali seumur hidup rasanya egois jika ia memilih menutup mata akan derita orang lain.

"Kurasa jalan takdir telah memilihku untuk melakukan ini sejak lahir." Gumam Olivia mengulas senyum tipis untuk menguatkan dirinya sendiri lalu ia mulai melepas ikatan kain pada pinggangnya.

ArcheronTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang