"Kakak belum kembali." Arthur berjalan mondar-mandir di ruangannya dengan cemas selepas mendapat perintah mundur tiba-tiba melalui surat yang dibawakan seekor merpati yang menyebut nama kakaknya di sana akan tetapi selepas tiga hari kakaknya masih belum sampai ke istana.
"Pangeran bungsu ada baiknya anda makan dulu," ucap Sisilia yang datang bersama semangkuk sup daging dari dapur. Dia membawakannya untuk Arthur yang nampak tidak begitu selera untuk makan saat ini.
"Kak Archer masih belum kembali." Ujarnya memberitahukan kecemasan yang timbul di hatinya belakangan ini terlebih lagi satu-satunya yang ia miliki di dunia ini tersisa kakaknya saja. "Dimana dia? kenapa tidak ada kabar darinya?"
Sisilia mengulas senyum. "Dia sedang dalam perjalanan. Percayalah sore nanti akan sampai atau besok pagi."
Mendengar itu Arthur berdecak, "aku khawatir padanya. Tidak bisakah dia pulang dalam sekejap? meskipun aku tidak suka padanya tapi aku tidak membencinya. Dia satu-satunya yang tersisa dari bagian keluarga kami."
"Aku tahu." Sahut Sisilia, ia mendekat memberikan semangkuk sup daging itu ke tangan Arthur. "Kalau begitu kau makanlah karena jika Archer tahu kau tidak makan sejak kembali ke istana pasti dia mengamuk."
"Kak Sisilia aku bukannya menolak kebaikanmu tapi---"
"Makan." Potongnya wanita itu cepat. "Makan atau aku marah?"
"CK! baiklah, aku makan." Dengan sebal Arthur menyuapkan potongan daging ke mulutnya masih dengan Sisilia yang mengamati.
Wanita itu nampak peduli padanya. Entah apa yang terjadi tapi belakangan ini Sisilia kerap kali merasa iba hati terlebih pada Arthur. Kalau melihatnya rasanya terkadang Sisilia teringat pada sang adik yang sudah meninggal karena dipersembahkan.
Sisilia menggigit bibirnya sendiri, ia lantas pergi saat suasana hatinya memburuk. Tanpa mengatakan apapun lagi untuk sekedar berpamitan pada Arthur. Sisilia sadar bahwa ia harus menahan diri untuk tak menggunakan perasaannya di tempat ini kepada siapapun.
Sementara itu setelah tiga suapan Arthur meletakkan mangkuk sup itu diatas meja dan kembali pada kegiatan mondar-mandirnya sambil terus memikirkan Archeron dan terkadang kedua orang tuanya yang sudah tidak ada.
"Kupikir kau orang yang baik." Tangan Arthur mengepal, "ternyata..." semakin erat kepalannya semakin terlihat urat-urat tangannya yang menonjol.
"Brengsek!" umpatnya tak dapat menahan diri namun untuk membanting salah satu properti penting di ruangan ini, Arthur masih cukup waras untuk tak melakukan hal itu.
"Sekali saja, sekali saja pertemukan aku dengan perempuan itu maka akan kupastikan dia mati di tanganku." Ucapnya dengan tatapan penuh kebencian bersamaan dengan kepalan tangan erat lalu pukulan ia layangkan pada sebuah cermin besar hingga retak.
"Sialan!"
**
"Tolong aku, kak..."
"Ya?" Catarina menoleh ke belakang pada Archeron yang masih santai duduk bersandar dibawah pohon rindang seolah pura-pura tidak melihat seorang anak kecil yang menghampiri Catarina dalam kondisi terluka parah.
"Sakit, kak..."
"Bagaimana kau bisa terluka?"
Anak perempuan itu menggelengkan kepalanya lalu menangis. Alhasil Catarina semakin dibuat bingung. Kedua kalinya ia menoleh pada Archeron tetapi pria itu kelihatan tidak peduli sama sekali sampai Catarina merasa ia harus menghampiri pria itu dan meminta tolong.
"Archer--"
"Jangan ikut campur, Catarina."
"Hah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Archeron
Fantasy"Tadinya aku benci sekali pada antagonis bajingan sepertimu, tapi sekarang aku tahu semenjijikan apa kehidupan yang kau jalani. Archeron De Louis, aku bersumpah akan membawamu ke tahta!" *** Archeron De Louis, karakter antagonis kejam dalam sebuah...