84. Isn'It Strange?

13 5 0
                                    

Setelah membeli kopi di pagi yang menyegarkan ini, Hobi dan Rei kembali ke kantor. Semakin lama, pembicaraan mereka semakin serius. 

"Tidakkah kau merasa aneh, Rei?"

Rei menoleh ke arah Hobi yang sedang fokus menyetir. "Maksudnya?" tanyanya.

"Kau tahu sendiri, bagaimana beratnya perjalanan perusahaan kita beberapa tahun kemarin. Tapi belakangan ini situasinya sangat bagus dan semuanya berjalan dengan sangat lancar. Member kita bekerja sama dengan artis lain, juga tanpa kendala apa-apa. Bahkan grup-grup idol terkenal memberi reaksi bagus pada kita. Entah kenapa aku merasa takut dengan ketenangan ini," jelas Hobi.

Mendengar itu Rei seolah mendapat validasi atas firasat ganjil yang dirasakannya sejak beberapa hari belakangan. Lama-kelamaan rasa nyaman ini jadi semakin menyeramkan.

"Bagaimana menurutmu, Rei?" tanya Hobi lagi.

"Kalau bicara soal firasat buruk, sebenarnya tidak apa-apa punya perasaan seperti itu. Kalau aku sih, coba menjadikannya motivasi. Misalnya mungkin ini firasat bahwa kita akan semakin lelah karena semakin sibuk, makin banyak show, atau kolaborasi mungkin. Jadi, seolah-olah menarik hal positif daripada negatif. Begitu sih," kata Rei.

"Tapi itu pasti sulit sih, jujur aku juga masih belum bisa haha. Yaah... prepare for the worst," mata Rei dan Hobi bertemu sesaat. 

Hobi mengangguk-anggukkan kepala tanda setuju. "Benar ya, kita harus seperti itu. Terima kasih sudah mengingatkan, Rei."

"Haish bicara apa sih, hahaha. Kita memang harus begini, saling menguatkan dan saling mengingatkan, supaya bisa bertahan," jawab Rei.

Hobi menoleh lalu mengacak rambut Rei pelan. "Aigoo uri Rei, gumawo" ujarnya dengan nada gemas.

"Hobi lagi-lagi memperlakukanku seperti para maknae," Rei berakting seolah menghela napas kecewa.

"Hahaha hei, tidak seperti itu ya. Aku cuma mau bilang aku senang kau mau mendengarkanku pagi ini. Jadi, kau juga bisa mengandalkanku kalau sedang ragu,"

"Hehe tentu saja, aku pasti akan membutuhkanmu. Oleh karena itu jangan ragu untuk bercerita padaku." jawab Rei sambil menyeruput ice macchiato-nya. 

"Haahh... di industri hiburan yang kejam ini, kita memang banyak bergantung pada keberuntungan. Walau kita berbuat baik sekalipun, belum tentu orang lain akan merasakan hal serupa," Hobi terkekeh, getir.

"Tidak apa-apa, pada dasarnya kebenaran dan kebusukan itu sama. Cepat atau lambat akan terlihat dengan sendirinya. Hobi-kun, selama kita sudah melakukan hal yang terbaik, biarkan saja semesta yang bekerja," Rei menatapnya dengan senyuman.

"Kau benar. Untung saja aku mengobrol denganmu pagi ini. Jadwal yang semakin menggila ini semakin membuatku tak waras hahaha!" Hobi tertawa.

"Nanti kita akan terbiasa kok, hehe." Setelah itu, Rei mengalihkan perhatian Hobi dengan menanyakan tentang show yang belakangan mereka hadiri. Untungnya hal itu bisa mengalihkan kecemasan yang sedang dialami Hobi. Sepanjang jalan, dia banyak bercerita tentang teman-teman dan kejadian-kejadian lucu.

Namun pernyataan Hobi tadi tetap tinggal di benak Rei: semua ini terlalu tenang. Tanpa memakan waktu lama, mobil yang mereka kendarai memasuki lahan parkir. Tempat ini masih tampak sepi.

"Ini masih terlalu pagi, mampirlah dulu ke studio" ajak Hobi.

"Baiklah, aku ikut ke studio," jawab Rei dengan senyum lebar.

"Oke let's go! Kita bawakan kopi untuk Yoongi-hyung dan Namjoon-ie," ujar Hobi penuh semangat.

Sejak turun dari mobil hingga di lift Hobi bersenandung asal sambil membuat efek suara 'Tuing!', 'Hung?' dan sejenisnya. Rei hanya terkekeh atau kadang ikut-ikutan mengcopy tingkat Hobi.

7 Dwarfs & The Moon SpiritTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang