Prolog

323 23 10
                                    

*play the music for better experience

2014

"Kau ngga bosan ya nganggur terus?"

Gadis itu menghela nafas, bosan dengan pertanyaan yang sama terus diulang selama empat bulan terakhir dalam hidupnya. "Aku kerja kok bu,"

"Kerja apa di rumah terus?"

"Yaa nulis, kan aku udah bilang aku nulis artikel buat website. Ngerjain video juga, ngedesain juga," gadis itupun menjawab dengan suara sabar namun dalam pikirannya jengah mengulangi jawaban yang sama berulang kali.

Mana orangtuanya mengerti sistem kerja freelance. Mana orangtuanya mengerti apa itu perusahaan start up yang sistem kerjanya tidak memberlakukan jam kerja ataupun jam kantor.

Dia juga tak menyalahkan ketidakpahaman orangtuanya yang tinggal di sebuah kota kecil terpencil seperti ini.

Gadis itu, Rei hanya diam.

"Emang berapa sih gajimu? Buat uang makan aja ngga cukup. Ngga kasihan apa, utang ibu ada banyak. Cobalah bantu ibu lunasin utang..." dan bla bla bla, ibunya mulai mengulang cerita dan keluhan yang sama.

Tentang utang dan bagaimana mereka harus bertahan hidup, bagaimana kerasnya usaha orangtuanya mencari nafkah.

Sementara orangtuanya juga tidak paham kalau dia pun sedang mengusahakan hal yang sama. Hanya karena dia tak pernah 'terlihat' bekerja, maka ceramah ini menjadi makanan sehari-hari baginya.

"Untuk apa kau sekolah kalau cuma di rumah aja. Di suruh kuliah ngga mau,"

Lagi-lagi, Rei hanya bisa diam.

Semua omongan ibunya terasa seperti jebakan. Bagaimana ia bisa kuliah sementara abangnya sendiri masih berjuang menyelesaikan studi kedokterannya. Satu hal saja, dia tidak tega orangtuanya bekerja lebih untuk membiayai jika mereka berdua kuliah.

Setelah lulus SMA Rei merasa lega dan meminta abangnya untuk berhenti bekerja sambilan dan fokus pada studi agar bisa lulus dengan lancar. Dengan begitu anggaran pendidikan keluarga seluruhnya mengalir ke adik dan abangnya.

Awalnya orangtuanya sangat berterimakasih atas pengertian Rei, bahkan dia berjanji akan membiayai sendiri kuliahnya. Tetapi ketika semua pekerjaan dan karirnya berakhir, dia kembali ke rumah dan diperlakukan seperti ini hanya karena 'omongan tetangga'.

Rei sudah tahu itu sejak awal, alasan orangtuanya membawa-bawa 'utang' bukanlah masalah utamanya.

Gadis itu hanya bisa diam-diam menghela nafas sambil menatap kosong ke depan laptopnya. Mendengarkan ceramah ibunya yang sebenarnya sudah capek dijawabnya.

Selama empat bulan dia masih menjawab 'Ini hasilnya kan aku bisa nulis konten bu, kerja di dunia kreatif ya gini,'. Tapi kali ini dia sudah terlalu capek mengulangi jawaban itu dan hanya bisa diam.

Fokusnya pecah, dia tidak bisa melanjutkan tulisannya lagi. Hanya menatap kosong ke depan layar laptop sambil men-scroll acak.

"Setahun kemaren kerja malah ngga dapat apa-apa, ngga ada nabung. Pulang-pulang nganggur. Katanya pengen kuliah, malah nganggur, gimana mau ngumpulin duit?" ibunya mulai mengungkit-ungkit masa lalu yang bahkan tak ingin dibahas oleh Rei.

Benar, Rei pernah bekerja selama setahun di sebuah perusahaan kecil. Begitu lulus SMA dia segera melamar pekerjaan. Gajinya sangat minim sehingga dia tidak bisa menabung dan harus berhati-hati mengeluarkan uang.

Lagipula, sebenarnya tidak ada yang bisa diharapkan dari UMR Jogja yang juga kecil. Untuk hidup saja terseok-seok, bagaimana dia bisa mewujudkan keinginannya untuk berkuliah? Lelah dengan rutinitas kantor yang melelahkan padahal gaji minim, Rei memutuskan untuk resign.

7 Dwarfs & The Moon SpiritTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang