KEMBALI

159 37 3
                                    

Di hari yang sama kondisi Firman sudah semakin membaik. Meskipun lelaki itu sempat kritis selama lima belas jam, kini keadaannya sudah lebih baik jika dibandingkan dengan Arfi. Ternyata timah panas yang bersarang di perutnya itu hanya ada sebutir saja. Walaupun Thomas sempat menembakkan pistol itu ke arahnya sebanyak dua kali, ia sanggup menghindar. Justru keadaan Arfi yang lebih mengenaskan karena tusukan yang diterima lelaki itu ada tiga tusukan dan sangat dalam.  Firman masih duduk diam bersandar di bangsal ruang rawat inap. Kedua sorot netra terfokus pada satu obyek menembus kaca bening pada jendela kamar inap tersebut melihat keindahan purnama. Pikirannya melanglang buana. Di benak Firman bayang-bayang Sekar Arum memenuhi dan masih saja berseliweran tiada henti. Tak disadiri olehnya embun-embun bening memenuhi kedua sisi pipi.

"Fir .... "

Panggil seorang rekan kerjanya di klinik seraya menepuk bahu Firman pelan. Kini lelaki itu memalingkan wajah pada pria di sebelahnya.

"Bagaimana keadaanmu hari ini? Apa yang Kamu rasakan, Fir?"

"Aku sudah merasa lebih baik, Fand."

"Apa perutmu masih terasa nyeri?"

"Tidak, Fand. Aku hanya ingin pulang. Bisa, kan pulang hari ini?"

"Kamu harus teratur minum obatnya agar luka jahitannya cepat kering. Jangan lupa perbanyak makanan berprotein."

Firman mengangguk sekilas.

"Tuh dengerin kata dokter Fandy!"

Firman menatap malas ke arah sepupunya yang baru datang dan berdiri di daun pintu turut menimpali ucapan Fandy saat Firman baru selesai diperiksa.

"Tentu kalau Kamu memaksa," sahut Fandy menyetujui permintaan Firman.

"Tunggu, Dok! Lalu siapa yang bakalan ngrawat dia? Dia itu orang yang keras kepala," protes Ringgo ditatap tajam oleh Firman.

"Justru karena dia keras kepala biarkan dia mempertahankan egonya. Bukankah dia merasa sok kuat. Ada seseoramg yang sangat peduli padanya malah diabaikan," sindir Fandy melirik Firman.

"Apa maksudmu, Fand?" bingung Firman.

"Kau benar-benar gagal move on rupanya. Sepertinya Kau harus lebih banyak mengasah ketajaman insting dan empatimu terhadap lingkungan sekitar agar kepekaanmu berfungsi dengan baik," jelas Fandy.

"Kau tidak tahu apapun tentang hidupku, Fand. Jadi jangan berani menilai seperti itu."

"Justru karena aku tidak tahu apapun tentangmu tapi setidaknya aku masih memiliki kepedulian terhadap orang lain dibanding dirimu," tegas Fandy.

"Kita tidak bisa dibandingkan, Fand. Jalan hidup yang kita pilih saja berbeda. Kisah kita saja beda. Bagaimana mungkin Kamu bisa seenaknya menyimpulkan seperti itu," sanggah Firman.

"Karena itulah aku berusaha membuatmu sadar bahwa semua hal yang kita inginkan di dunia ini tidak harus kita miliki. Mungkin Tuhan punya rencana lain saat semesta membelokkan arah tujuan kita. Agar kita mengerti bahwa rencana Sang Pencipta lebih indah dari yang kita duga," sahut Fandy tak mau kalah.

"Tunggu, Dok! Kenapa Anda malah mendebat sepupu saya?" sela Ringgo saat aura ketegangan sedikit terasa.

Selama lima menit berlalu Ringgo hanya berdiam diri menyaksikan Firman dan Fandy beradu opini karena tak mengerti apa yang sedang mereka bahas.

"Maaf, Ri. Saya tidak bermaksud menyinggung perasaan Firman. Saya hanya berusaha membuatnya memahami keadaan. Itu saja," papar Fandy.

"Saya makin nggak ngerti," ujar Ringgo menggaruk dahi bingung.

PENJAGA HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang