KEADILAN UNTUK CASSANDRA

115 16 3
                                    


Sejak Firman datang ke rumah Ningrum, sikap Arfi lebih tampak diam dari sebelumnya. Rani bingung bagaimana harus bersikap sebab kejadian kemarin bukan serta merta keinginannya. Ia bahkan tak menyangka kalau Firman akan bersikap seperti itu. Saat itu Rani sudah bersikap sewajarnya dan ucapan yang terlontar dari mulutnya sudah jelas untuk memukul mundur sang mantan kekasih namun apa daya pelukan tiba-tiba dari dokter muda itu tidak bisa diprediksi sebelumnya.

Arfi melihat dengan jelas bahwa dirinya membeku di tempatnya berdiri ketika direngkuh begitu erat. Kalau boleh jujur dia benar-benar cemburu.

"Kenapa, Rum? Kok melamun sendirian di sini?"

"Nggak apa-apa, Bulik."

"Kalau nggak ada apa-apa, kenapa murung? Nggak baik seorang istri duduk melamun begini."

Rani memeluk Ningrum berharap menemukan ketenangan.

"Ada apa? Bicaralah jika memang ada yang membebani pikiranmu?" Ningrum mengusap punggungnya dengan sayang.

"Kak Arfi marah karena mas Iza kemarin ke sini, Bulik."

"Tapi bukankah nak Firman cuma minta maaf?" Bingung Ningrum.

Rani melonggarkan pelukan dan menatap Ningrum dengan gundah.

"Mas Iza tiba-tiba memeluk saya, padahal saya sudah menolak, Bulik. Itulah sebabnya kak Arfi marah."

Ningrum hanya tersenyum menanggapi aduan Rani.

"Kok bulik malah senyum?" heran Rani.

"Masa kamu nggak ngerti, Nduk? Suamimu itu cemburu," tebak Ningrum.

"Kenapa harus cemburu? Bukankah saya sudah menjadi istrinya?"

"Suami mana yang tidak cemburu jika istri yang sangat dicintainya dipeluk mesra oleh orang lain. Coba bayangkan bagaimana perasaanmu sendiri jika nak Arfi dipeluk oleh mantan kekasihnya? Kamu pasti marah, kan?"

Rani mengangguk lemah.

"Sudah, jangan bimbang? Semalam bulik sudah bilang padanya dan memberi pengertian."

"Bulik bilang apa?"

"Bulik sudah menjelaskan semuanya. Jangan terlalu banyak berpikir, sekarang temui dia dan ajak bicara!"

"Tapi---"

"Sudah sana!" Ningrum mendorongnya perlahan agar Rani segera memyelesaikan masalah mereka.

Rani berlalu dari hadapan Ningrum dan menemui Arfi di teras belakang. Lelaki itu sedang bicara serius melalui ponselnya entah siapa yang menelepon. Rani tahu betul orang-orang yang sering menelepon suaminya selain Helsa, Siska dan Andre. Kali ini Arfi terlihat sangat serius membicarakan sesuatu, tapi terdengar bukan membahas tentang pekerjaan. Rani masih menunggu di tempatnya berdiri memperhatikan Arfi yang belum menyadari kehadirannya.

"Jadi mereka sudah tertangkap, Ram?"

[Sudah mas dan Carlos Martinez sudah memberikan keterangan terkait kasus kematian kak Wulan]

"Apa kau sudah mengurus semuanya?"

[Sudah mas]

"Baiklah kalau begitu, nanti hubungi aku bila ada kabar terbaru mengenai kasus ini."

[Iya].

Arfi menutup obrolan bertepatan dengan tatapan Rani yang masih memperhatikannya sejak tadi.

"Bisakah kita bicara, Kak?" tanya Rani tampak ragu-ragu.

Arfi yang melihat istrinya diliputi rasa bersalah dari sorot matanya kini agak melunak.

"Kemarilah, Sayang!"

PENJAGA HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang