Sebelum Kecelakaan

79 11 1
                                    

Sepuluh tahun yang lalu

Pagi hari dengan cuaca agak mendung seorang gadis dengan gaun berwarna biru pastel sedang duduk di gazebo samping rumah sambil menikmati secangkir cappucino dengan sepotong roti bakar. Rambutnya yang hitam legam terurai dan sesekali dibelai angin menutupi sebagian wajahnya. Sesekali ia menggigit makanan tersebut dan mengunyahnya sambil menyelia ke sekitar memperhatikan deretan bunga-bunga tampak cantik bermekaran di taman dekat gazebo.

Ia tampak termenung memikirkan hal-hal indah yang akan dirangkainya  bersama sang kekasih. Sebuah impian sederhana tentang kebersamaannya kelak dengan pria yang telah menjadi tambatan hatinya. Pasti kebahagiaan itu akan sangat sempurna jika mereka nanti dikaruniai anak-anak yang lucu usai mereka terikat resmi menjadi pasangan suami istri. Gadis itu tersenyum ketika matanya dipejamkan saat membayangkan hal indah seperti yang diangankan hingga tidak mempedulikan dering ponsel sangat nyaring di sebelahnya.

Seorang ART-nya sampai tergopoh-gopoh menghampiri dan menegurnya.

"Non, Sandra! Ada telepon buat, Non?"

Gadis yang dipanggil itu pun perlahan membuka kedua mata menoleh ke asal suara pada seseorang yang berdiri tak jauh darinya.

"Ada apa?"

"Tadi barusan ibu Rini telepon. Katanya ponsel Non Sandra kok tidak diangkat. Tuh berdering nyaring panggilan dari nyonya!" jelas ART itu menunjuk ke ponsel milik Sandra yang tergeletak begitu saja dan akhirnya berhenti berdering sebab diabaikan terlalu lama.

Sandra pun melihat ponselnya yang teronggok di samping tempatnya duduk di gazebo dan mengambilnya. Kontan saja mendial nomor panggilan tak terjawab dari ibunya. Semenit saja panggilannya langsung diangkat oleh Rini.

"Maaf, Bu! Tadi saya asyik termenung sendirian duduk di gazebo."

Suara di seberang sana, Rini mengutarakan unek-unek tentang keresahan hatinya sejak semalam. Sandra hanya terdiam mendengarkan semua ucapannya.

"Iya, tapi saya masih ingin di sini, Bu."

[Hari pernikahan kalian hanya tinggal dua minggu, tolong jangan membuat ibu khawatir]

"Ibu doakan saja pada Tuhan saya pasti baik-baik saja."

[ ... ]

Nada suara Rini mendesah lelah mencoba meredam segala gundah yang merajai hati. Wanita paruh baya itu tidak berpikir macam-macam akan tetapi mimpi buruknya semalam seolah menghantui pikiran. Semua itu sangat beralasan karena di dalam mimpi tersebut seperti firasat kurang baik seolah-olah peristiwa buruk akan terjadi.

ART-nya masih berdiri tak jauh dari Sandra tetap fokus memperhatikan dengan air muka penuh tanya.

"Apa ada sesuatu, Non?"

Sandra menggeleng dan memasang senyum seperti semula seolah-olah menenangkan batinnya sendiri.

"Nggak apa-apa kok, Mbak! Ibu cuma tanya keadaanku hari ini."

"Syukurlah, Non. Tadi Nyonya sempat SMS saya waktu Non Sandra nggak ngangkat telepon. Suaranya tidak seperti biasanya."

"Udah, Mbak nggak usah khawatir nggak ada apa-apa kok."

Sandra menghampiri ART-nya mengusap bahunya pelan untuk menenangkan perempuan itu dan memastikan bahwa semuanya baik-baik saja. Meskipun tanpa Sandra tahu bahwa di lubuk hati perempuan itu masih diselimuti kekhawatiran luar biasa. Entah hal apa yang membuatnya turut risau. Ibu dari Sandra pun tak berkata apa-apa. Rini memang rajin SMS pada ART-nya tiap setengah jam sekali sejak kemarin mereka menginap di Bogor tempat almarhum orang tuanya tinggal. Sejak kakek nenek Sandra meninggal, Rini jarang berkunjung ke sana. Berbeda dengan Sandra yang notabene hanya cucunya justru sering datang ke rumah lama mereka sebelum tinggal dan menetap di Jakarta.

PENJAGA HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang