TABIR TERSIBAK

187 39 19
                                    

Dalam tidur rasa gelisah memburu. Pelipis basah oleh aliran keringat. Dahi mengembun butiran-butiran peluh. Meskipun tidak melakukan aktivitas fisik kondisinya seolah berlari mengitari tanah lapang puluhan kali. Badan membolak balik tampak tidak jenak.

"Aaarrrggg ..." suara teriakan histeris terdengar keras berada di lantai atas kamar Rani.

Arfi yang mendengar lebih dulu bergegas menuju kamar Rani memastikan kondisi gadis itu. Tanpa aba-aba Arfi menerobos masuk ke kamar tersebut langsung mendekap tubuh Rani dengan erat berikan ketenangan.  Tanpa diduga olehnya, Rani justru meronta dan memukuli bahunya. Teriakan Rani kian membahana begitu keras membangunkan semua orang. Helsa langsung meluncur menemui Arfi saat tahu sang kakak dipukuli.

"Lepaskan aku! Pergi kalian! Jangan sentuh aku!"

Hiks ... hiks ... hiks ... hiks

Isak tangis mengiringi racauan Rani.

"Ran, ini aku Arfi sadarlah!" panggil Arfi bernada lembut berusaha menenangkan Rani meskipun gadis itu tetap meronta dan terus memukulinya.

Arfi masih berusaha memeluknya dan berbisik di telinga memanggil namanya. Helsa masih berdiri di samping ranjang bingung harus berbuat apa menunggu kondisi Rani ditenangkan dahulu oleh sang kakak. Entah apa yang menjadi penyebabnya, sudah lima hari setelah dua minggu Arfi pulang dari rumah sakit, sikap Rani agak lain. Gadis itu sering kepergok melamun sendiri di kamarnya sengaja mengunci diri. Dan Arfi selalu berusaha membujuknya dan dua kali terluka akibat lemparan vas bunga sintetis yang ditaruh di meja sudut ruangan.

Sejak itu Rani selalu diberikan suntikan penenang oleh Helsa agar Rani tidak mengamuk dan melukai kakaknya. Helsa merasa hatinya hancur melihat kondisi Rani yang kambuh begitu saja tanpa diketahui penyebabnya. Padahal jika mengingat peristiwa penculikan waktu itu yang membuat Rani harus bertemu lagi dengan Thomas bahkan sikap posesif Thomas yang bisa dikatakan terkena gangguan mental sebab sikap Thomas lebih tepat disebut psikopat dan sangat berbahaya.

Dari peristiwa yang dialami Rani waktu itu tidak berefek fatal karena kondisi gadis itu baik-baik saja. Bahkan Helsa melihat Rani tampak murka saat Monica menyinggung perasaannya saat terpancing emosi gara-gara ucapan perempuan itu, meski tidak meledak di tempat umum tapi gelagat Rani waktu itu terlihat jelas menahan geram.

"Sayang, ini aku Arfi kekasihmu. Tolong jangan seperti ini. Sadarlah! Aku tidak akan menyakitimu."

"Pergi ... aku bilang pergi! Lepaskan aku! Jangan sentuh aku, pergi!" sentak Rani.

Lelah berteriak Rani kemudian menangis sejadi-jadinya. Dengan menahan rasa sakit di badan, Arfi makin mendekap erat tubuh  sang kekasih hingga perlahan tenang kembali. Helsa perlahan menghampiri sang kakak dan menginstruksikan agar merebahkan tubuh Rani dengan nyaman. Kemudian Helsa memberika suntikan penenang.

Raut kesedihan begitu kentara pada mereka. Bi Ijah dan pak Udin turut memperhatikan kondisi gadis itu di ujung daun pintu tak berani mendekat. Menurut penuturan mereka, Rani mengalami gangguan kecemasan sejak seminggu setelah kepulangan Arfi. Gadis itu sering mengalami insomnia dan takut melihat keadaan di sekelilingnya. Tanpa diketahui Helsa dan Arfi, gadis itu mengkonsumsi obat anti depresan dan obat tidur dengan dosis tak beraturan. Padahal sudah lama Helsa tidak memberikan resep obat itu untuk Rani. Mengingat kondisi Rani jauh lebih baik. Dia sudah terbiasa curhat pada Helsa jika merasakan gangguan kecemasan menimpa dirinya. Helsa memberikan bimbingan konseling tentang kondisi yang dialaminya bahkan mendampingi bertemu dokter spesialis Psikiatri yang dulu pernah menanganinya.

Arfi tampak gusar memeperhatikan kondisi Rani yang kembali seperti dulu saat menolongnya. Dalam diam, ia menangis tidak tega melihat kondisi Rani.

"Kak, jangan khawatir. Aku berusaha semaksimal mungkin untuk membuat Rani lebih terbuka tentang apa yang dirasakannya," ucap Helsa.

PENJAGA HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang