MENUAI BADAI

170 32 1
                                    

Pagi hari burung kutilang berdendang. Mengiringi ilalang berlenggak lenggok riang. Dersik sang bayu melantunkan kekata rindu. Nada cinta kian membahana. Gaung renjana memantul di sudut atma. Asa menyambut asmaraloka dengan euforia. Arunika tersenyum ceria menyapa dunia. Secerah cakrawala merupa jingga kala fajar tiba.

Garis senyum penuh rasa syukur terpancar jelas di air muka Riyanti. Wanita itu masih terlihat cantik meski usianya sudah tidak muda lagi. Umurnya baru genap lima puluh dua tahun. Sejak perempuan itu mengalami kegagalan dalam rumah tangganya, ia tidak pernah menikah lagi. Tuhan Maha baik dengan mengirimkan bayi mungil anak dari sahabatnya, saat berusia dua puluh lima tahun. Namun hari kelahiran anak itu juga sekaligus menjadi hari berkabung untuk ibunya yang bernama Ningsih.

Nila Nareswari adalah anak perempuan bernasib malang karena ditinggal mati ibunya saat bayi itu baru lahir. Di antara rasa bahagia, mengharu biru teriring pilu, Riyanti menemani Ningsih, saat perempuan itu melahirkan anak pertamanya tanpa didampingi seorang suami. Wanita itu selalu terbayang tentang ucapan Ningsih saat melahirkan anak perempuannya. Tiada terasa waktu begitu cepat berlalu. Acapkali menatap mata indah gadis yang sudah diasuh dan dibesarkannya selama ini. Mereka begitu mirip apalagi mata indahnya nyaris sama dengan ibunya.

Dua puluh tujuh tahun yang lalu

"Selamat ya, Ning! Bayimu sehat dan tidak kurang suatu apapun," ucap Riyanti menitikkan bulir-bulir bening di kedua sudut mata.

"Terima kasih, Yan. Cuma Kamu yang aku miliki di dunia ini," sahut Ningsih menatap haru pada sahabatnya saat sedang menggendong putri kecilnya.

"Kamu harus beristirahat. Pulihkan kesehatanmu. Jangan pikirkan soal biaya karena aku sudah menanggungnya. Lihathah, Ning. Dia cantik sekali seperti Kamu," ujar Riyanti menatap bayi mungil dalam gendongannya dengan bobot 2,7 kilogram dengan panjang 45 cm.

Ningsih tersenyum haru menatap bayi perempuan yang ditunjukkan oleh Riyanti ketika menghampirinya dan bayi mungil itu didekatkan ke arahnya.

"Boleh aku tahu siapa nama yang akan Kamu sematkan padanya, Ning?"

"Nila Nareswari," jawab Ningsih.

"Nama yang indah."

"Aku ingin Kamu berjanji, Yan. Tolong jaga dia bila seandainya aku tidak bisa berada di sisinya," pinta Ningsih.

"Awakmu ngomong opo to, Ning? Ora usah omong aneh-aneh. Luwih becik ndungo karo Gusti Pengeran mugo-mugo tansah diparingi rahayu," kata Riyanti beri nasehat.

(Kamu bicara apa? Tidak usah bicara aneh-aneh. Lebih baik berdoa pada Tuhan semoga selalu diberi keselamatan)

"Berjanjilah, Yan," mohon Ningsih meraih jemari kanan Riyanti.

Dalam hitungan dua puluh detik, Ningsih memejamkan mata dan tangannya luruh lunglai tak berdaya. Riyanti panik tatkala melihat kondisi sahabatnya tidak sadarkan diri.

"Dokter!" panggilnya sambil memencet tombol darurat di samping ranjang pasien.

Dokter bergegas menuju ruang rawat Ningsih dan kini masih berupaya menolong perempuan itu. Hingga di detik terakhir Ningsih tidak bisa diselamatkan karena mengalami pendarahan hebat usai persalinan.

Riyanti menangis dalam diam ketika melihat bayi mungil dalam gendongannya bergantian menatap tubuh Ningsih yang sudah terbujur kaku ditutup kain putih.

🍁🍁🍁

Riyanti menangis dalam diam ketika berziarah di makam Ningsih.

"Tenanglah di alam sana, Ning. Semoga Tuhan memberimu tempat terindah disisi-Nya. Ketahuilah bahwa Hardi sedang menuai badai atas semua perbuatan tercela yang pernah dilakukannya terhadapmu dan juga putrimu. Tuhan sudah memberikan hukuman untuknya. Seperti yang pernah aku katakan, dia tidak akan selamat dari semua keburukan yang telah diperbuatnya," ujar Riyanti menaburkan bunga di pusara Ningsih sambil memanjatkan doa.

PENJAGA HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang