(2) RISAU

830 69 12
                                    

Baru semalam bertemu saat kelam. Cakrawala sedang muram berderai membasahi buana. Seperti isak pilu tangis seorang jelita yang tampak putus asa. Hadir menatap getir terjatuh si puan di titik nadir. Empati datang penuh kasih membasuh pedih. Tanpa ia tahu sebuah rasa yang entah kapan menyapa dalam sekejap mengisi nurani. Merambat lambat menyusup di tiap aliran darah membuncah ruah seiring desir sebuah rasa yang entah. Memenuhi ruang hampa, telah lama tiada satu pun yang singgah. Risau mengacau dalam debar, jantung bergetar samar. Bayang sang puan membias jelas di benak. Hingga kini masih sulit dipahami. Rasa apakah yang hadir mengisi ruang hati? Sedangkan dia sendiri belum mampu mengeja rasa yang menyusup tiba-tiba.

Di kantor, Arfi tak terlalu fokus dengan pekerjaan. Tanpa diduga bayangan gadis yang ditolongnya semalam itu terbias di benak. Rasa khawatir yang begitu besar terhadap gadis itu membuat pikirannya kacau balau. Seluruh pekerjaannya tak ada satu pun yang beres.

"Ah, sial. Kenapa aku nggak fokus sejak tadi? Kenapa juga wajah gadis itu memenuhi pikiranku? Benar-benar aneh, lagian dia juga bukan siapa-siapa dan aku pun tak mengenalnya. Tapi kenapa?" Arfi memaki diri sendiri dan mengacak rambut tanda frustasi.

Dia tak menyadari kehadiran Fransiska Pricilia, sekretarisnya yang berulang kali mengetuk pintu tapi tak digubrisnya. Siska pun nyelonong masuk dan berdiri di hadapannya.

"Siang Pak Arfi yeng terhormat!" Siska mengucap salam dengan gaya sok formal.

"Kamu, Sis? Ada apa? Kok tiba-tiba ada di sini?" Arfi menatap bingung.

"Kok ada apa? Kamu itu yang kenapa? Sejak tadi aku ketuk pintu nggak ada sahutan. Jadi, ya langsung masuk aja."

Arfi hanya melirik Siska melalui ekor matanya, terlihat tak acuh. Siska malah heran dengan sikap sepupunya itu yang berubah aneh tak seperti biasanya.

"Kamu kenapa sih, Ar? Ada masalah apa? Kalau aku perhatikan kayak nggak fokus gitu," tanya Siska tanpa jeda.

"Kamu itu ditanya malah balik nanya?"

"Gitu aja sewot." Siska menyodorkan berkas yang harus ditandatangani Arfi.

Keduanya memang sangat akrab, sama sekali tak terlihat seperti atasan dengan bawahan karena mereka memang masih saudara sepupu sekaligus sahabat dan juga seumuran. Jadi tak merasa canggung walaupun hanya memanggil nama satu sama lain dan hanya waktu tertentu mengharuskan mereka untuk bersikap formal misalnya dalam pertemuan dengan para kolega saat menjalin kerjasama. Sampai jam waktu makan siang tiba, sikap Arfi masih sama tampak kurang semangat. Dia hanya mengaduk makanan di hadapannya seolah tak berselera. Siska pun jengah menatapnya.

"Kamu ada masalah apa, Ar? Cerita aja?"

"Aku nggak apa-apa, Sis. Cuma ...."

"Cuma apa? Emangnya, Kamu masih mikirin mantanmu yang nggak penting itu," ucap Siska asal.

"Kok jadi mantanku yang dibawa-bawa. Apa hubungannya coba?"

"Kalau bukan dia, terus tentang apa?" Siska menyipit curiga.

"Sudahlah, Sis. Lagi pula nggak terlalu yang penting," elak Arfi.

Sejam kemudian mereka kembali ke kantor, sedangkan Arfi bergegas pulang karena pikirannya agak kacau. Semua pekerjaan diserahkan pada sepupunya.

💎💎💎

Helsa begitu bersemangat menemani Sekar berbincang sederhana sekadar menghibur agar gadis itu melupakan sejenak tentang trauma yang dialami. Meski gadis itu tak begitu menanggapi, Helsa tak menyerah. Tanpa mereka sadari sepasang mata memperhatikan sejak tadi dengan lengkung senyum merekah. Pemilik mata teduh itu adalah Arfi. Sejenak rasa bahagia itu hadir melihat keakraban mereka. Helsa menyadari kedatangan Arfi lalu perlahan menoleh dan membalas senyum. Ia mengisyaratkan agar sang kakak mendekat. Arfi pun menuruti permintaan adiknya. Ia menarik lengan Arfi lalu menuntunnya untuk duduk di dekat Sekar.

PENJAGA HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang