***
Liberty duduk di kursi ayunan, mendekap selimut sambil menatap permukaan danau yang terlihat berkilau diterpa sinar matahari. Sarapan di atas meja sama sekali tak disentuhnya.
Pikirannya melayang pada kejadian kemarin malam. Selain tragedi yang menimpa Claire, kejadian di mobil bersama Mori terus terbayang di kepalanya. Bibirnya masih bisa merasakan lembutnya ciuman mereka.
Liberty menggigit bibirnya, seraya menunduk membenamkan wajahnya di lututnya. Berusaha menghilangkan perasaan itu, jantungnya bahkan masih berdebar sejak malam itu. Dan perasaan terluka saat Mori meminta maaf ...
Apa dia tidak cukup menarik di mata laki-laki itu?
"Hei!"
Liberty mendongak kaget begitu mendengar suara Mori, ia menoleh dan matanya melebar. Seolah mimpi saat melihat Mori tengah berdiri di ambang pintu paviliun yang menghubungkan ke taman belakang tempatnya berada saat ini.
Mori tersenyum seraya berjalan mendekat, sementara Liberty memalingkan pandangan ke arah danau. Diam-diam berusaha menenangkan jantungnya yang berdegup kencang.
"Aku mencarimu, lalu tukang kebun mengantarku ke sini." jelas Mori, lalu duduk di ujung sofa di dekat ayunan. Matanya menyorot hangat memperhatikan Liberty.
Liberty tak menyahut, gadis itu hanya meliriknya sebentar. Mori pun mengerti. Sepertinya gadis itu tidak menduga dengan kedatangannya setelah kejadian malam kemarin.
Yang jujur saja, membuatnya tidak bisa tidur karena memikirkannya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Mori dengan sabar.
Liberty mengangguk sekali, tanpa merubah posisinya. Masih memeluk lutut menatap jauh ke arah danau. Berharap Mori tidak membahas apa yang sudah terjadi di antara mereka. Ia tak ingin mendengar apapun tentang itu. Dan sepertinya Mori pun mengerti.
"Apa kau mau melihat Claire?" tanya Mori masih berusaha membuka pembicaraan, berharap jika Liberty mau sekali saja menjawab. Agar hatinya tenang.
Liberty menoleh, menatapnya. Namun hanya sedetik lalu kembali memutus pandangan.
"Bolehkah?" tanyanya ragu.
Mori menghela nafas, "Setidaknya mungkin kita bisa melihatnya dari luar." jawabnya masih bertahan menatap Liberty.
Gadis itu terdiam. Lalu, "Apa kau mau menungguku berganti pakaian?" tanyanya, kali ini matanya melihat ke arah Mori, meski masih menghindar untuk bertatapan langsung, "hanya sebentar." tambahnya.
Mori tersenyum lebar. "Tentu saja!" jawabnya dengan air muka lega.
Liberty pun beranjak, menyingkirkan selimut. Kemudian turun dari ayunan. Ketika ia hendak melangkah, saat itu pula ia berhenti dan menoleh pada Mori.
"Kau mau menunggu disini, atau ..."
"Ayo!" potong Mori seraya berjalan melewatinya, tapi sebelum itu, ia meraih tangan Liberty dan menariknya untuk berjalan bersama.
Liberty yang sempat tak mengira, langsung menurut saja mengikuti langkah Mori. Lalu diam-diam tersenyum di belakang laki-laki itu.
Setelah Liberty selesai berganti pakaian, mereka pun segera berangkat menuju rumah sakit dimana Claire dirawat. Liberty duduk dengan tenang, tanpa berani menoleh pada Mori. Jikapun Mori bertanya untuk mengajaknya berbicara, gadis itu menjawab singkat.
Mori memperhatikan penampilan Liberty. Ia tersenyum geli, mengingat apa yang selalu dikatakan Claire setiap kali bercerita tentang sahabatnya itu. Liberty yang terlalu 'biasa' dalam berpakaian, dengan celana jeans dan kaosnya atau jaket flanel favoritnya. Padahal gadis itu bisa menjadi bintang di sekolah jika mau sedikit saja merubah penampilan dan merias wajahnya. Seperti waktu itu, saat gadis itu sengaja berdandan lebih terbuka hanya semata untuk menentang ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Being Your Mama
General FictionBlurb singkat : Davina yang harus berhadapan dengan anak remaja putri, dari Gregory Smith, tunangannya. Yang menolak kehadirannya sebagai calon istri ayahnya. Juga menghindari cinta segitiga yang menjebaknya bersama atasannya, Axel William Brighton...