7. School Life Reality.

540 37 0
                                    

***

Liberty melangkah cepat-cepat dengan penuh emosi, menuju kamar Greg. Diamnya Davina dan sikap ayahnya itu menanggapi semua kelakuannya, seolah tak peduli dengan apa yang dia lakukan. Jujur saja, ia bingung. Dan akhirnya benar-benar merasa dianggap hanya keisengan gadis kecil biasa yang patut dimaklumi. Kedua orang dewasa itu tak peduli dengan apa yang dia lakukan, seolah sengaja mengabaikan pesan dibalik itu semua. Jika ia ingin Davina pergi dan Greg membatalkan pernikahan mereka.

Dengan kasar, Liberty membuka pintu kamar Greg. Pria yang tengah memakai baju itu terlihat melompat menoleh dengan kaget. Ketika melihat Liberty di ambang pintu, sorot matanya berkilat marah untuk sedetik, namun kemudian meredup dan kembali merapikan kemejanya dengan tenang.

Liberty yang melihat itu menarik nafas dalam, emosinya hampir meledak karena kesal. Ia pun masuk menghampiri Greg.

"Papa!" panggilnya dengan menekan suaranya agar jangan sampai berteriak.

"Ya?" sahut Greg tanpa menoleh. Ia sibuk mengancingkan lengan kemeja sambil melihat dirinya sendiri di cermin.

Liberty merapatkan bibirnya menahan semua kata-kata yang ingin sekali ia teriakan ke hadapan Greg. Namun ketika melihat reaksi Greg yang justru terlihat santai, ia lebih dari sekedar emosi. Antara marah dan dongkol.

"Kenapa kau tidak memarahiku karena menjahili Davina?!" tanya Liberty.

Gerakan tangan Greg terhenti. Ia lalu berbalik pelan. Liberty menelan ludah ketika melihat wajah kaku ayahnya itu. Emosinya yang sesaat lalu terasa ingin meledak, seketika berubah menjadi gentar. Bagaimanapun, ia masih takut jika Greg benar-benar marah nantinya.

"Jadi kau mengakui semuanya adalah perbuatanmu, Liberty?" kata Greg balik bertanya.

Liberty mengerjap, menghindar bertatapan langsung dengan Greg. Menyilangkan kedua tangannya di depan. Ia tak tahu harus berkata apa. Antara masih marah, dongkol, dan kesal.

Greg menghela nafas, jika saja Davina tak menekankan padanya untuk tidak menuruti emosinya, sudah sejak tadi ia memarahi Liberty.
"Papa terlambat. Kau sarapan saja sendiri!" tukas Greg seraya menyambar jas dan tas kerjanya. Melangkah menuju pintu keluar. Tapi sebelum itu, ia kembali menoleh pada Liberty.

"Lakukan sesukamu. Papa akan tetap menikahi Davina!" Greg menatap putrinya dengan lunak, "Papa mencintaimu, Lib!" tambahnya, kemudian bergegas pergi menghilang di balik dinding.

Liberty terdiam. Matanya mengerjap, dan ketika satu titik air matanya hendak jatuh, cepat ia menghapusnya dengan kasar.

***

Davina terperanjat dari tidurnya, ketika suara dering telepon membangunkannya. Perlahan ia bangun, menyingkap selimut kemudian berdiri. Berjalan lemas menuju nakas dimana ponselnya berada. Ia teringat belum memberitahukan kondisinya pada Axel. Padahal hari ini seharusnya adalah hari pertama kerja.

Davina mengerutkan kening saat melihat layar ponsel yang menampilkan jajaran nomer asing tanpa nama disana. Sebentar ia terdiam, mengingat jika ia mungkin pernah memberikan nomer ponselnya pada orang lain.

Meski ragu, tangannya menggeser ikon telepon juga akhirnya. Karena setelah padam, nomer tersebut kembali meneleponnya.

"Halo?"

"Kenapa kau lama sekali mengangkat teleponnya?!"

Davina sebentar menjauhkan ponsel dari telinganya. Menatap layar dengan bingung. Suara seorang pria dari seberang sana terdengar asing baginya.

"Siapa?" tanyanya.

Terdengar dehaman, sebelum orang itu kembali bicara.
"Raline bilang jika kau ijin tidak masuk hari ini, padahal ini adalah hari pertama kerja. Kau mau mempermainku? Kau main-main dengan pekerjaan!"

Being Your MamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang