11. Start.

479 33 0
                                    

***

"Ma-maaf!"

Axel mengerjap seolah tersadar, dan semakin merasa ditarik dari alam khayal saat Davina buru-buru melepaskan diri dari pegangannya. Wanita itu terlihat gugup seraya melangkah mundur menjauh.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Axel menahan geli melihat wajah Davina yang panik.

"Tidak, terimakasih sudah menolong!" jawab Davina memalingkan wajah. Axel melihat rona merah di pipi itu. Membuatnya gemas.

"Baiklah, saya ... aku akan keluar sekarang!" kata Davina berusaha menguasai diri, lalu secepatnya permisi bergegas keluar dari ruangan Axel. Meninggalkan pria itu yang tersenyum melihat tingkahnya.

Setelahnya, Axel memejamkan mata. Mengepalkan tangannya dengan erat. Mengingat wangi lembut itu, manis dan menenangkan. Tangannya bahkan masih bisa merasakan hangat tubuh Davina yang sebentar saja berada di pelukannya. Menyisakan gelenyar aneh yang merayapi hatinya.

Sementara Davina, keluar dari ruangan Axel dengan langkah cepat. Melewati Raline yang baru saja datang begitu saja, membuat gadis itu yang semula tersenyum hendak menyapa, mematung dengan tatapan heran.

Davina masuk ke toilet. Bersandar di dinding demi meredakan perasaan gugup yang menyerangnya. Dirabanya kedua pipinya, terasa memanas karena tiba-tiba saja harus merasakan situasi canggung dengan Axel. Mungkin memang seharusnya dirinya merasa gugup, tapi kenapa jantungnya juga ikut berdebar?

"Oh, tenang, Davina! Bagaimana bisa kau gemetar begini?!" gumamnya merutuk sendiri.

Ditariknya nafas dalam-dalam, lalu menghembuskan dengan perlahan. Itu sedikit membuatnya tenang dan meredakan debaran jantungnya.

"Baiklah, fokus saja pada pekerjaan, jangan pedulikan siapa dia, hanya sebagai atasan! Oke!" Davina bermonolog seraya memejamkan mata, berusaha untuk kembali menetralkan perasaannya.

Saat membuka mata, ia menatap dirinya di cermin toilet. Lalu matanya tertuju pada cincin di jari manisnya. Yang seketika membuatnya merasa bersalah.

"Oh, Greg! Maafkan aku!" Kembali ia berbicara sendiri seraya mendesah pelan.

Ini mungkin akan menjadi hubungan pekerjaan yang canggung dengan Axel, tapi saat ini hatinya teguh ingin menjalani pekerjaan yang selama ini ia impikan. Apalagi diterima oleh perusahaan sekelas Brighton. Maka ia harus memasang tameng diri sekuat mungkin agar tidak terlibat secara emosional kepada Axel.

Yang mana pria itu tampak jelas menyimpan sesuatu terhadap dirinya.

***

Liberty duduk termangu di jendela. Beberapa buku sudah habis ia baca. Beruntung ayahnya Claire memiliki perpustakaan dengan koleksi buku yang cukup lengkap genrenya, sehingga ia tidak terlalu bosan menunggu Claire sementara sahabatnya itu pergi sekolah.

Pikirannya kemudian melayang ke mansion Smith. Teringat pada ayahnya, dan juga Davina. Meski hatinya masih merasa jengah untuk pulang ke sana, tapi ia tak sepenuhnya ingin pergi selamanya. Emosinya yang kemarin memuncak, kali ini terasa konyol. Bagaimanapun ia masih anak-anak yang membutuhkan orangtuanya. Jikapun ia ingin lepas dari Greg, maka ia harus belajar hidup mandiri dan bekerja untuk hidupnya.

Tapi itu langkah yang sangat ekstrim saat ini.

Liberty menarik nafas dalam, menghembuskannya sambil mendongak menatap langit yang hari ini tampak cerah.

Saat itu pintu kamar diketuk perlahan. Liberty menoleh, dan mendapati Mori melongokkan kepalanya.

"Boleh aku masuk?" ucapnya.

Liberty mengangguk kaku seraya membenarkan posisi duduknya, menutupi pahanya dengan bantal. Diam-diam ia menggigit bibir merasakan situasi canggung yang tiba-tiba.

Being Your MamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang